JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan  potensi kerugian yang diderita PT Pertamina Gas (Pertagas),  anak usaha PT Pertamina (Persero) sepanjang 2014 hingga semester pertama 2016 sebesar Rp 161,93 miliar. Potensi kerugian disebabkan kegiatan niaga dan transportasi gas perusahaan di wilayah Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Jawa Timur.

Laporan Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2017 BPK mengungkapkan potensi kerugian tersebut berasal dari  11 temuan yang memuat 17 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 13 permasalahan ketidakefektifan senilai Rp1,28 triliun, serta  dua permasalahan kekurangan penerimaan yang mencapai Rp14,17 miliar.

Moermahadi Soerja, Ketua BPK dalam laporannya menyatakan ada beberapa kegiatan niaga dan transportasi gas pada Pertagas yang kurang efektif.

“Pertagas menanggung kehilangan pendapatan senilai US$16,57 juta dan timbulnya piutang macet senilai US$11,86 juta akibat penyusunan nominasi, skema niaga, dan operasi pemanfaatan gas Pondok Tengah yang tidak mempertimbangkan kondisi operasi, serta pengalihan alokasi gas untuk kebutuhan Compressed Natural Gas (CNG) kepada PT Mutiara Energy (PT ME),” tulis Moermahadi dalam laporannya.

Menurut dia, hal itu terjadi karena pejabat fungsi business development tidak tepat dalam menentukan nominasi dan kontrak penjualan gas pada metering bersama secara alokasi range pertingkat, dan mengalihkan nominasi konsumen lain kepada PT ME tanpa mempertimbangkan penyelesaian yang efektif peningkatan stok PT ME.  Direksi Pertagas juga dinilai belum menyusun prosedur atau tata kerja organisasi perhitungan dan penetapan maksimum shipper stock.

Kegiatan lainnya yakni mengkraknya pengerjaa proyek pipa Belawan- KIM-KEK (Kawasan Industri Medan–Kawasan Ekonomi Khusus) senilai US$59,58 juta dan Rp3,00 miliar berpotensi membebani keuangan perusahaan dalam jangka panjang.

Dalam temuan BPK penyebab mangkraknya proyek tersebut karena terdapat item pekerjaan–commisioning– yang tidak bisa dilaksanakan karena sampai saat ini belum ada konsumen yang bisa menerima gas, dalam hal ini bukan menjadi tanggung jawab rekanan.

Kemudian belum selesainya proses amendemen kontrak terkait dengan pekerjaan tambah kurang, sehingga belum bisa dilakukan kalkulasi akhir terkait penyelesaian pekerjaan. Belum adanya konsumen yang bisa menerima gas menunjukkan adanya deviasi antara realisasi dengan perencanaan sebagaimana tertuang dalam feasibility study.

Menurut Moermahadi, direksi Pertagas harus melakukan evaluasi dan menetapkan prosedur mengenai penentuan jumlah maksimum shipper stock, pengalihan nominasi, dan mekanisme penyampaian informasi atas rate inforce pada kondisi tertentu dan melakukan upaya penagihan terhadap piutang macet PT ME dan apabila tidak dapat diselesaikan agar dilanjutkan ke proses hukum.

“Serta menyusun ulang feasibility study dan keekonomian project berdasarkan kondisi yang riil serta berkoordinasi dengan internal dan eksternal agar aset pipa Belawan-KIM-KEK dapat dimanfaatkan secara optimal,” tegas Moermahadi.(RI)