JAKARTA– Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berhrap semua skema sistem yang mendukung kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi dibuat transparan. Salah satu implementasi ketebukaan sistem adalah dengan penerapan skema gross split.

“Kelemahan manajemen industri migas selama ini yang belum mampu menjawab penentuan split dalam Production Sharing Contract (PSC) dengan skema cost recovery,” ujar Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, Minggu (9/4).

Menurut Arcandra, skema cost recovery tersebut tidak bisa memprediksi risiko bisnis dari segi waktu sebelum dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Skema gross split yang diterapkan di Indonesia adalah satu-satunya di dunia.

“Gross split ini ada di dunia dengan bentuk lain. Tapi yang men-split berdasarkan risiko-risiko bisnis hanya ada di Indonesia. Di Amerika berdasarkan royalty and tax. Tax-nya fixed, royaltinya nego,” katanya seperti dikutip Antara.

Arcandra juga membantah terkait sepinya minat lelang Wilayah Kerja (WK) Migas yang saat ini sedang berjalan. Menurut dia, faktor yang menjadi sepinya lelang adalah bukan lantaran gross split melainkan kondisi lapangan migas yang bakal digarap. “Yang membedakan adalah gimana lapangan itu behaviournya, baru dihitung splitnya seperti apa. Bisa jadi lapangan tidak ekonomis,” jelas Arcandra.

Dia juga menjelaskan dengan penerapan skema gross split akan menunjukkan kejelasan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). “Kalau dulu lapangan sulit apa insentifnya? Gak jelas. Sekarang jelas,” katanya.

Menurut rencana, skema gross split akan dimasukkan dalam Undang-Undang (UU) Migas demi menjamin kepastian berinvestasi. “Kalau sudah jalan kita akan masukkan aturan gross split ke dalam Undang-Undang,” katanya. (DR)