JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat hingga akhir Juli 2017 sebanyak tiga perusahaan pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral berhenti beroperasi karena alasan keekonomian. Ketiga smelter tersebut dioperasikan PT Indoferro, PT Bintang Timur Steel di Cilegon dan PT Cahaya Modern Metal Industri di Sulawesi Tenggara.

Laporan Direktorat Jenderal (Ditjen) Minerba menyebutkan ketiga smelter tersebut berhenti beroperasi akibat pengoperasian peleburan nikel dengan menggunakan teknologi blast furnace yang sangat dipengaruhi harga bahan baku, salah satunya adalah kokas (coking coal).

Harga kokas yang berkontribusi 40% dari total biaya produksi, meningkat dari rata-rata US$100 per ton pada 2015 menjadi US$200-US$300 per ton sejak akhir 2016. Hal inilah yang menjadi penyebab terhentinya kegiatan produksi PT Cahaya Modern Metal Industri.

Untuk dua smelter lainnya, yakni PT Indoferro dan PT Bintang Timur Steel sejak awal tidak di desain untuk memurnikan bijih nikel sehingga tingkat keekonomian akan berbeda dengan desain awal. Indoferro semula memurnikan bijih besi dan PT Bintang Timur Steel semula memurnikan bijih mangan.

“Indoferro yang memiliki kapasitas output 200 ribu ton per tahun berhenti berproduksi sejak 19 Juli 2017. Bintang Timur Steel yang berkapasitas produksi 37.440 ton per tahun sejak commissioning pada Juli 2015 belum beroperasi secara continue,” ungkap Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM di Jakarta, Rabu.

Laporan Ditjen Mineral juga menyebutkan bahwa hingga saat ini terdapat 10 smelter nikel beroperasi dengan total produksi 1.468.596 ton per tahun. Sementara, 13 smelter nikel lainnya saat ini dalam tahap konstruksi dengan total kapasitas mencapai 1.853.000 ton per tahun, apabila ke-13 smelter tersebut sudah berproduksi.(RI)