JAKARTA – PT Pertamina (Persero) dinilai bisa mencari alternatif untuk bisa mendapatkan sumber pasokan baru dalam pemenuhan kebutuhan elpiji (liquefied petroleum gas/LPG) nasional. Selama ini negara-negara di kawasan Timur Tengah menjadi sumber terbesar dalam memasok kebutuhan LPG di Kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia.

Harry Poernono, Anggota Komisi VII DPR, menyatakan Pertamina bebas memilih rekan dalam berbisinis, termasuk LPG. Hal itu dilakukan untuk bisa mendapatkan harga yang lebih kompetitif serta jaminan pasokan karena keterbatasan produksi dari dalam negeri.
“Pilih mana saja yang paling efisien dan handal pasokannya. Konsumsi LPG akan terus meningkat karena dalam negeri tidak punya fasilitas produksi yang cukup,” kata Harry kepada Dunia Energi, Rabu (18/1)
Impor memang satu-satunya jalan untuk bisa mengimbangi pertumbuhan konsumsi LPG, terlebih dengan adanya berbagai program konservasi energi yang tengah digencarkan Kementarian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Ahmad Bambang, Wakil Direktur Pertamina, menyatakan Indonesia bahkan diperkirakan akan mengimpor 100 persen kebutuhan LPG nasional dalam jangka waktu lima tahun ke depan lantaran terus menipisnya sumber energi LPG.
Masalah pasokan menjadi fokus Pertamina ke depan, terlebih dengan karakteristik gas yang sulit untuk dijadikan LPG. Data Pertamina menyebutkan, gas di Indonesia makin ringan, kandungan C4 makin tidak ada sehingga hasil LPG makin turun. Begitu juga dengan kondisi gas di luar negeri.
“Sehingga sebetulnya suplai ke depan semakin sulit. Jadi harapannya adalah LPG hasil dari kilang LNG besar. Saya tidak tahu nanti Masela berapa bisa hasilkan,” kata Ahmad.
Pada tahun ini konsumsi LPG diperkirakan akan meningkat dibanding 2016 yang mencapai 6,57 juta metrik ton. Ini dilihat dari meningkatnya impor sebesar 5% dibanding realisasi impor tahun lalu 4,3 juta metrik ton.
Daniel S. Purba, Senior Vice President Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina, menyatakan Pertamina saat ini mengkaji pengadaan LPG dari Amerika Serikat. LPG AS berpotensi bisa lebih ekonomis karena fasilitas Panama Kanal sudah rampung sehingga waktu pengiriman menjadi lebih singkat.
“Dulu tidak ekonomis karena mereka harus memutar 1,5 bulan, sekarang tiga minggu karena Panama Kanal sudah jadi,” katanya.

Pertamina sempat melakukan ujicoba pengiriman LPG dari AS dengan total volume tiga persen dari impor yang dilakukan perusahaan migas plat merah itu.
Menurut Daniel dari sisi harga LPG AS bisa menguntungkan, karena menggunakan patokan yang berbeda dalam penetapan harga.

“Jika Timur Tengah kan Saudi Aramco, AS kan Mont Bellevue Price ini linked ke harga gas AS. Fluktuasi ini yang berdampak, yang penting selisih harganya menguntungkan kompensasi freight-nya” tandas Daniel.(RI)