JAKARTA – PT Pertamina (Persero) menyiapkan sedikitnya Rp 3 triliun sebagai dana operasional pelaksanaan program BBM satu harga hingga 2019. Kebutuhan dana tersebut akan dipenuhi dari kas internal Pertamina.

Muchamad Iskandar, Direktur Pemasaran Pertamina mengatakan setiap tahun perusahaan telah memproyeksikan kebutuhan dana operasional. Biaya distribusi menjadi pos pembiayaan terbesar dalam pelaksanaan BBM satu harga.

“Kami akumulasi total selama 3 tahun nanti sebesar Rp 3 triliun,” kata Iskandar saat ditemui di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu (15/11).

Iskandar mengungkapkan alokasi dana untuk operasional BBM satu harga berpotensi membuat beban keuangan Pertamina makin besar. Namun karena merupakan penugasan dari pemerintah yang terkena imbas adalah setoran dividen  ke negara.

“Endingnya pada ikewajiban dividen yang menurun karena untungnya kecil. Selama dapat penugasan, tidak masalah kan Pertamina punya negara,” tukasnya dia.

Menurut Iskandar, pada tahun ini kebutuhan dana untuk BBM satu harga belum maksimal karena semua lembaga penyalur yang dibentuk masih belum maksimal beroperasi. Pada 2018, serapan dana untuk biaya operasional BBM satu harga baru akan meningkat.

“Untuk operasi tambahan biaya opexnya diluar yang rutin. Sebanyak 54 titik ini baru running, full baru tahun depan,” kata Iskandar

Pada 2017, Pertamina menargetkan pembangunan lembaga penyalur baru di 54 titik lokasi. Untuk 2018, akan ditambah 50 titik dan di 2019 pembangunan lembaga penyalur baru di 46 titik.

Iskandar optimistis pelaksanaan BBM satu harga tahun ini bisa mencapai target. Pertamina akan mengebut implementasi program BBM satu harga  dengan meningkatkan koordinasi perizinan dengan pemerintah daerah.

“Bisa capai target 54,  kurang 25 lokasi yang 11 itu kita operasikan November. Sisa 14 pada Desember sudah jadi,  tinggal bagaimana derahnya,” kata dia.

Seiring beroperasinya lembaga penyalur BBM satu harga, Pertamina juga memproyeksikan peningkatan konsumsi BBM pada 2018. Untuk BBM jenis gasoline diperkirakan akan meningkat 3%, sementara untuk BBM jenis solar peningkatannya lebih tinggi sekitar 7%.

“Solar ditopang dari sektor pertambangan yang sudah menggeliat, transportasi penunjang pertambangannya mulai aktif lagi. Jadi banyak kegiatan truk-truk di wilayah pertambangan seperti Kalimantan,” tandas Iskandar.(RI)