JAKARTA – Rencana pemerintah melalui Badan Usaha Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) untuk menerapkan kebijakan satu harga jaringan gas (jargas) sambungan rumah tangga (SR) secara nasional dinilai tidak merugikan pelaku usaha.

Jugi Prajugio, Anggota Komite BPH Migas, mengatakan selama ini jargas rumah tangga dibangun dengan menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sehingga tidak ada biaya investasi yang disiapkan pelaku usaha. Dengan begitu komponen biaya investasi tidak perlu dimasukkan dalam formulasi pembentukan harga.

“Biaya infrastruktur jargas yang dibangun APBN tidak dihitung dalam penetapan harga, tidak mungkin dihitung karena akan membuat harga jargas sangat tinggi (dalam hal ini perhitungan depresiasi infrastruktur jargas),” kata Jugi kepada Dunia Energi, Selasa (13/2).

Menurut Jugi, dalam skema penetapan harga jargas yang ditetapkan, BPH Migas memastikan badan usaha tidak akan merugi walaupun harga jargas disamaratakan di seluruh daerah.

“Konsepnya saling tutup untuk badan usaha penerima penugasan dan ini tidak masalah. Dengan konsep yang akan diterapkan BPH migas, badan usaha tidak akan merugi,” tegasnya.

Penetapan harga jargas secara nasional dinilai akan sulit diimplementasikan karena harga gas dari hulu berbeda-beda berdasarkan wilayahnya. Namun menurut BPH Migas, meskipun harga hulu berbeda, satu harga gas di tingkat konsumen masih bisa direalisasikan. Apalagi penerapan harga diakhir sesuai dengan regulasi akan ditetapkan BPH Migas.

“Jika harga hulu seragam akan lebih mudah, tapi jika harga hulu tidak sama sebenarnya tidak masalah juga karena BPH Migas yang menetapkan harga akhir ke pelanggan,” ungkap Jugi.

Dia mencontohkan harga gas dari hulu yang diperoleh PT Pertamina Gas (Pertagas) Niaga sekitar US$4,72 per MMBTU, jika ditambahkan dengan komponen biaya toll fee dan biaya kelola, akan diperoleh harga jargas Rp4.750 per M3 atau di bawah harga LPG eceran di pasaran.

Untuk harga hulu yang diperoleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) atau PGN, lebih rendah dari US$4,72 per MMBTU. Jika ditambahkan dengan biaya toll fee dan biaya kelola, akan ditetapkan harga jargas yang berdekatan dengan area PGN juga sekitar Rp4.750 per M3.

“Dengan pola seperti ini justru kerugian PGN yang sudah bertahun-tahun (sejak 2007) kita coba perbaiki,” ungkap Jugi.

Jumlah sambungan untuk jargas rumah tangga hingga sekarang masih minim. Dari rencana strategis 2015-2019 jargas sebanyak 1,14 juta SR, realisasi sejak 2009 hingga 2017 baru mencapai 235.925 SR yang tersebar di 15 provinsi dan 31 kota dan kabupaten.

Jobi Triananda Hasjim, Direktur Utama PGN, menyatakan dukungan terhadap rencana penerapan harga jargas secara nasional karena dinilai tidak ada pihak yang akan dirugikan.

“Kalau bisa bagaimana sekarang kita akan lebih mudah kalau tidak ada perbedaan seperti harga BBM,” kata dia.

Distribusi gas untuk rumah tangga tidak bisa disamakan dengan kebutuhan industri. Untuk itu, penerapan satu harga jargas nasional tidak akan memberatkan. Apalagi porsi kebutuhan gas yang dialokasikan ke rumah tangga juga sedikit. “Kami cuma 1% (porsi gas rumah tangga),” tukas Jobi.

Pemerintah sebelumnya sempat menyatakan kebijakan satu harga jargas tidak harus terburu-buru karena masih ada hal lain yang lebih penting yang harus dipersiapkan, misalnya infrastruktur.

Ego Syahrial, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan pemerintah tidak menutup diri untuk melakukan terobosan demi meningkatkan konsumsi gas dalam negeri.
“Untuk jargas satu harga kami sudah dengan rencanakan itu, tapi saat ini masih dalam kajian terlebih dulu,” kata Ego.(RI)