JAKARTA – Kebijakan fiskal yang fleksibel perlu segera diterapkan untuk sektor minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. Fleksibilitas tersebut penting untuk memperbaiki iklim investasi di sektor ini yang tengah tertekan akibat turunnya harga minyak mentah dunia sejak pertengahan 2014.

“Padahal, produksi mesti didorong untuk memenuhi kebutuhan yang kian meningkat. Dalam situasi saat ini risiko investasi migas seharusnya ditanggung bersama antara pemerintah dan kontraktor,” kata Darmawan Prasodjo, Deputi I Bidang Monitoring dan Evaluasi Kantor Staf Kepresidenan dalam sesi pleno I The 40th IPA Convention and Exhibition di Jakarta Convention Center Jakarta, Rabu (25/5).

Darmawan memaparkan, pemerintah tidak hanya memikirkan kepentingan jangka pendek, melainkan bagaimana menjaga agar investasi dapat berkelanjutan. Untuk itu perlu melakukan perubahan kebijakan fiskal dengan semangat keadilan (fairness) untuk mengundang investasi. Misalnya, lanjut Darmawan, penetapan skema kontrak bagi hasil (PSC) tidak dapat diterapkan sama untuk semua wilayah kerja migas, karena masing-masing memiliki kesulitan sendiri.

Menurut Darmawan, sekarang merupakan momentum yang tepat bagi Indonesia untuk berpindah paradigma dariregressive system ke progressive system. “Presiden Joko Widodo telah merancang suatu dokumen yang bernama Nawacita. Dokumen ini sekarang diadopsi menjadi RPJMN. Di situ tertulis, ladang minyak memiliki karakter tersendiri karena itu dibutuhkan sistem fiskal yang fleksibel,” ujar Darmawan.

Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan, mengatakan bahwa pemerintah berupaya memberikan yang terbaik untuk memastikan kegiatan eksplorasi industri migas tetap berjalan. Jika dianggap perlu, pemerintah siap memberikan insentif sesuai skala prioritas, misalnya penerapan tax holiday kepada sejumlah KKKS.

“Saat ini kami sedang memikirkan insentif pajak lain. Tapi sebelumnya, kami perlu mengidentifikasi terlebih dahulu harga minyak ke depan,” kata dia.

Craig McMahon, Head of Asia Pacific Research Wood Mackenzie, mengatakan saat ini sektor hulu migas global sedang menghadapi penurunan investasi yang tajam. Bagi Indonesia kondisi ini menguntungkan sebagai pengimpor bersih (net importer) minyak. Persoalannya dalam jangka panjang situasi ini dapat merugikan seiring dengan akan pulihnya harga  minyak dunia.

Menurut McMahon, Indonesia mesti segera bersiap dengan mendorong investasi. Sekarang menjadi momentum tepat bagi pemerintah mengubah sejumlah regulasi dan kebijakan di sektor migas. “Dalam beberapa pengalaman, negara yang mengubah kebijakan akan mampu bertahan dalam kondisi seperti yang terjadi saat ini,” kata dia.

Di sisi lain, perusahaan juga perlu melakukan disiplin keuangan dan menerapkan asas kehati-hatian dalam setiap investasi. “Yang diperlukan investor adalah suatu keadaan yang bisa diduga, kepastian, dan hal yang bisa diprediksi lebih jelas. Investor tidak bisa berhasil tanpa dukungan pemerintah dan sebaliknya,” ujar McMahon.(RA)