PEMERINTAH selama ini dinilai tidak konsisten dan tidak tegas menerapkan aturan kepada perusahaan-perusahaan pertambangan, khususnya dalam menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Barulah pada 11 Januari 2017 melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017  tentang Perubahan Keempat atas PP 23/2010 menjadi tonggak baru penegakkan kedaulatan sumber daya mineral di Indonesia.

“Dengan keluarnya peraturan tersebut, PT Freeport Indonesia dihentikan ekspor konsentratnya. Ekspor konsentrat Freeport dihentikan karena status perusahaan tersebut masih berupa kontrak karya,” kata Ardhi Rasy Wardhana, Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB.

PP 1 Nomor 2017 menyebutkan bahwa apabila perusahaan ingin mendapatkan izin ekspor konsentrat kembali, perusahaan tersebut diwajibkan untuk mengubah status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Menurut Ardhi, salah satu implikasi signifikan perubahan status menjadi IUPK adalah perusahaan harus menambah nilai produknya paling lambat lima tahun setelah menjadi IUPK, secara bertahap melakukan divestasi  sampai 51 persen selama 10 tahun.

Hal ini merupakan kabar baik untuk kedaulatan energi mengingat selama  50 tahun terakhir, di bawah Kontrak Karya, pemerintah hanya memiliki saham 9,36 persen.

“Melihat bahwa kepentingan bisnisnya akan direnggut oleh PP 1/2017, Freeport memulai perlawanan untuk mempertahankan klausul Kontrak  Karya di dalam IUPK melalui proposal yang ditujukan kepada pemerintah,” kata Ardhi.

Beberapa permintaan di dalam proposal tersebut adalah perpanjangan kontrak hingga 2041, keinginan agar mekanisme pajak sesuai dengan klausul kontrak karya, dan adanya jaminan stabilitas hukum dan fiskal.

Menurut Ardhi, pengajuan negosiasi ini jelas menunjukkan Freeport Indonesia tidak sama sekali beritikad untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Di saat kedudukan proposal yang diajukan Freeport Indonesia masih belum terjawab secara jelas, Kementerian ESDM menerbitkan IUPK Freeport Indonesia pada tanggal 10 Februari 2017. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai klausul-klausul yang terdapat dalam dokumen IUPK Freeport yang ditandatangani pemerintah.

Ardhi mempertanyakan apakah klausul IUPK untuk Freeport sama dengan klausul IUPK untuk perusahaan lain atau terdapat perbedaan terkait dengan proposal yang diajukan oleh Freeport?

“Dalam ketidakjelasan ini, Freeport menegaskan belum menyepakati perjanjian apapun dan mencoba  menaikkan posisi tawarnya dengan mengancam melalui pengurangan karyawan dalam Interoffice  Memorandum PTFI Management tanggal 11 Februari 2017 perihal Situasi Terkini Operasi PTFI,” ungkap dia.

Bentuk pengurangan karyawan ini adalah PHK untuk kontraktor dan merumahkan karyawan (non kontraktor). Dalam mekanisme merumahkan karyawan diminta untuk tidak bekerja dan ditarik akomodasinya.

Karena merasa terancam, ribuan karyawan Freeport bergerak ke kantor Bupati Mimika menuntut pembukaan keran ekspor konsentrat.

“Tindakan Freeport yang seakan menggunakan karyawan yang merasa terancam untuk memperoleh kembali izin ekspor merupakan tindakan yang kami pandang tidak etis. Padahal, di hari yang sama, 17 Februari 2017, pemerintah mengembalikan lagi izin ekspor PTFI dengan komitmen perusahaan akan mematuhi UU 4/2009 terkait pembangunan pabrik pemurnian di dalam negeri,” kata Ardhi.

Dalam kondisi informasi yang simpang siur ini, Freeport McMoran Inc., induk perusahaan Freeport, mengeluarkan ultimatum 120 hari kepada pemerintah. Ultimatum ini mengatakan bahwa Freeport  McMoran memberikan waktu 120 hari kepada pemerintahan Joko Widodo untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan antara Freeport dengan pemerintah.

Jika dalam waktu 120 hari perbedaan-perbedaan tersebut tidak terselesaikan, Freeport Indonesia akan menempuh jalur arbitrase. Ultimatum ini kembali memperkuat gagasan bahwa Freeport masih berjuang agar dapat mengembalikan klausul-klausul Kontrak Karya dan  sama sekali tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan terkait IUPK.

Menanggapi ultimatum Freeport McMoran, Menteri ESDM menawarkan beberapa opsi yang mungkin dilakukan. Opsi pertama, Freeport Indonesia menaati aturan dan pemerintah membuka ruang diskusi terkait stabilitas investasi. Opsi kedua, dilakukan perubahan UU Minerba yang merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Opsi ketiga, pemerintah Indonesia dan Freeport menempuh jalur arbitrase internasional.

“Opsi perubahan UU Minerba berpotensi mengkhianati semangat hilirisasi minerba Indonesia dan mengesankan bahwa hukum bersifat fleksibel. Opsi arbitrase pun memiliki ketidakpastian apakah bangsa Indonesia akan diuntungkan atau semakin dirugikan oleh hasilnya. Opsi yang memungkinkan diambil adalah opsi pertama, dimana kedua belah pihak dapat kembali mendiskusikan mengenai keinginan dan kekhawatiran masing-masing,” kata Ardhi.

Ardhi mendesak Freeport dan pemerintah menempuh cara-cara yang etis dengan tetap menjunjung tinggi peraturan perundangan yang berlaku.

Pemerintah didorong untuk tetap konsisten menjalankan amanat Undang-Undang (UU) dengan secara tegas menerapkan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) dan memastikan dijalankannya klausul-klausul peraturan perundangan oleh perusahaan, termasuk terkait embangunan pabrik pemurnian.

Pemerintah dituntut memberikan perhatian khusus terhadap nasib karyawan Freeport Indonesia dengan tetap memenuhi hak mereka sebagai warga negara Indonesia yang
pantas mendapatkan penghidupan yang layak sebagai manusia.

Ahmad Redi, Pakar Hukum Sumber Daya Alam Universitas Tarumanegara, menduga PTFI hanya gertak sambal. Mereka akan sangat rugi sekali bila arbitrase.

“Saham mereka saat ini terus menurun. Kalau mereka sudah tidak menambang di Papua lagi, bangkrut mereka. Freeport masih menjadi tulang punggung usaha McMorran,” kata Redi.

Redi juga menegaskan bahwa badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di sektor pertambangan, mampu mengambil alih pengelolaan tambang Grasberg.

Dia memaparkan sejumlah skema, pertama membentuk BUMN baru seperti PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang modalnya dari penyertaan modal negara dan pembiayaan BUMN perbankan. Kedua, bentuk holding tambang konsorsium PT Aneka Tambang Tbk, Inalum, PT Timah Tbk, dan PT Bukit Asam Tbk. Ketiga, Freeport diberi IUPK namun pemerintah mendapat saham 51 persen dengan menjadikan sumber daya/cadangan di wilayah PTFI sebagai modal, sehingga pemerintah tidak perlu mengeluarkan anggaran.

“Semoga pemerintah tidak terjebak pada keserampangan dalam pengelolaan  negara sehingga kedaulatan dan kemakmuran Bangsa Indonesia tidak hanya sekadar cita-cita belaka,” tandas Ardhi.(Yurika P)