Endah Rumbiyanti (tengah) diapit penasehat hukumnya, Maqdir Ismail (kiri) dan Manager Corporate Communication Chevron, Dony Indrawan (kanan) sesaat usai divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim bioremediasi.

Endah Rumbiyanti (tengah) diapit penasehat hukumnya, Maqdir Ismail (kiri) dan Manager Corporate Communication Chevron, Dony Indrawan (kanan) sesaat usai divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim bioremediasi.

JAKARTA – Tidak seperti kebanyakan para tersangka kasus hukum, Endah Rumbiyanti yang lebih sering dipanggil Rumbi,tidak menunjukkan tanda-tanda sedang didera persoalan serius. Padahal kasus proyek pemulihan lingkungan dengan teknik bioremediasi telah mengubah kehidupannya yang penuh cita dan kegembiraan menjadi suram dan penuh kesulitan dalam dua tahun terakhir ini.

“Sedih itu sudah pasti, apalagi anak-anak saya pun menjadi korbannya. Tapi saya harus terus bergerak melawan karena tak ada kesalahan apapun yang sudah saya perbuat terkait dengan proyek yang saya pun tidak terlibat didalamnya,” katanya dengan nada suara penuh keyakinan dalam wawancara Jumat (28/2/2014).

Saat ini Rumbi dan empat karyawan Chevron dan dua kontraktor CPI dituduh melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek bioremediasi CPI yang berlangsung pada periode 2006-2011. Kasusnya saat ini tengah diperiksa di tingkat banding di Pengadilan Tinggi Jakarta (PT) dan Mahkamah Agung (MA). Padahal menurut Rumbi, selama periode tersebut dirinya sebagian besar tidak berada di Indonesia dan baru kembali dari penugasan di Amerika pada akhir 2010.

Rumbi dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kapasitasnya sebagai manajer lingkungan. Rumbi pun sebenarnya baru diangkat sebagai manajer lingkungan pada bulan Juni 2011 ketika kontrak proyek bioremediasi pun hampir selesai. “Seperti mimpi buruk di siang hari, pada Maret 2012, tiba-tiba saya dan empat rekan di PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan dua kontraktor dinyatakan sebagai tersangka korupsi bioremediasi,” ujarnya.

Selama belasan tahun bekerja di Chevron dan menjadi salah satu karyawan yang dianggap berkinerja unggul, Rumbi mengaku tak pernah terbersit dipikirannya untuk melakukan hal-hal tak pantas hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi. “Saya mendapatkan kesempatan terbaik dalam karir saya, rejekipun dari gaji perusahaan insha Allahlebih dari sekedar cukup dan hidup saya sekeluarga pun sangat bersahaja,” ujar wanita yang juga bersuamikan seorang engineer CPI.

Dalam persidangan di pengadilan Tipikor yang panjang yang sering dilewatinya sampai tengah malam di tahun lalu, tak satupun bukti dan keterangan yang membuktikan adanya kesalahan atau pelanggaran pidana yang dilakukan Rumbi maupun tersangka lainnya. Sayangnya majelis hakim tetap menyatakan Rumbi bersalah meskipun terdapat dua hakim yang berbeda pendapat (dissenting opinion) yang menilai Rumbi harus dibebaskan dari segala tuntutan.

Ditahan Tanpa Alasan Jelas

Enam bulan setelah ditetapkan menjadi tersangka dan untuk kali pertamanya diperiksa sebagai tersangka, pada bulan September 2012 Rumbi langsung dijebloskan ke penjara. Diantara perasaan gundah dan kebingungan atas apa yang terjadi, Rumbi harus merelakan diri terpisah dari putra bungsunya, Gaza, yang saat itu baru berusia 2,5 tahun dan masih harus disusui. “Saat itu tak satu pun keterangan dari pihak penegak hukum yang memperjelas mengapa mereka harus menahan saya,” imbuhnya.

Rumbi tidak bisa lupa bagaimana ngerinya malam itu. Rutan Pondok Bambu menolak permintaan jaksa untuk menampung Rumbi karena persyaratan administratif tidak dipenuhi tepat waktu. Alhasil, dia harus menginap semalam di tahanan laki-laki di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Saat masuk ke dalam sel, tak ada yang bisa dilihat Rumbi selain tembok, lantai, dan langit-langit. Tidak ada satu pun perabot di dalamnya, bahkan ventilasi. Suaminya, Attok, harus membawakan kasur lipat untuk dijadikan alas istirahat.

Namun hingga pagi, Rumbi tidak bisa beristirahat dengan tenang. Selain memikirkan nasibnya dan keluarga, pikiran Rumbi terus waspada akan keadaan sekelilingnya. Saat dini hari, pintu selnya digedor oleh seorang laki-laki, memaksa untuk masuk dan mengobrol dengannya. Mengingat kata-kata suaminya untuk terus berhati-hati, dia tidak membuka pintu itu sampai pagi menjelang dan keluarganya datang membesuk.

Enam puluh tiga hari lamanya Rumbi harus menjalani penahanan di Rutan Pondok Bambu. Selama itu pula hak-haknya tercerabut. Meskipun belum membuat proses hukum berakhir, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memberikan kedilan bagi dirinya dengan memutuskan bahwa penahanan terhadap dirinya tidak sah. “Tak satupun bukti dan alasan yang jelas yang disampaikan jaksa dalam persidangan pra-peradilan itu kecuali secarik kertas perintah dari direktur penyidikan untuk menahan saya. Saya bersyukur hakim di PN Jakarta Selatan telah memakai nuraninya saat itu,” ujar Rumbi.

Anak Menjadi Korban

Penahanan Rumbi selama dua bulan otomatis membuat keluarganya yang tinggal di Duri, Riau, tercerai-berai. Rumbi terpaksa menitipkan empat anaknya—Aristo, Carissa, Dio, dan Gayatri—kepada adiknya di sana. Sementara suaminya yang juga bekerja di Chevron harus bolak-balik Riau-Jakarta bersama dengan putra bungsunya untuk mendampingi Rumbi menjalani proses hukum. Hak Rumbi sebagai ibu untuk menemani anak-anaknya dirampas dalam semalam.

Kepada kelima anaknya, Rumbi dan suaminya menyebut penjara dengan “sekolah”. Bukan hanya Rumbi yang menimba ilmu pahitnya kehidupan, keluarganya pun terseret masuk kelas.

Si bungsu, Gaza, sempat mengalami trauma ditinggal oleh ibunya. Jika dia melihat Rumbi meninggalkan ruangan, walaupun hanya pergi ke ruangan sebelah, dia akan menangis dan menyiapkan sepatu agar bisa menyusul pergi. Selelah apa pun, dia akan terus meminta ikut karena takut terpisahkan lagi dengan sang ibunda tercinta.

Sekarang, Gaza sudah bersekolah. Meski baru empat tahun, guru-gurunya melihat Gaza sudah lebih matang dan mandiri dari teman-teman sebayanya. Di usianya yang sangat muda, dia sudah melihat bagian dalam penjara dan ruangan pengadilan, bertemu dengan berbagai orang, dari narapidana hingga hakim. Pengalaman menemani ibunya berjuang itulah yang membuatnya lebih kuat.

Menurut Rumbi, setelah dirinya divonis bersalah, keluarga besarnya yang berjumlah sekitar seratus orang mengadakan acara khusus di Bandung, Jawa Barat, untuk memberi semangat dan dukungan. “Kami sekeluarga sedih, tapi kami terus berharap adanya keadilan,” katanya.

Rumbi amat berterima kasih dan bersyukur karena mendapatkan limpahan dukungan dari keluarga besar, rekan-rekannya di Chevron, rekan sealmamater dan masyarakat umum.

Kesedihan Rumbi tak membuatnya berhenti untuk menyuarakan kebenaran dalam kasus yang dihadapinya. Berbagai cara telah dilakukannya untuk membuka mata atas tuduhan yang dipaksakan kepadanya itu. Selain berjuang melalui proses hukum, Rumbi juga telah melaporkan kesewenang-wenangan aparat ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Lembaga ini pun lalu menerbitkan hasil investigasi yang membuktikan kebenaran laporan Rumbi bahwa telah terjadi pelanggaran HAM oleh penegak hukum dalam proses hukum yang dijalaninya.

Mencari Jawaban

Biarpun orang mengenalnya sebagai sosok yang cerdas, namun Rumbi mengaku bahwa dirinya tak pernah bisa menjawab alasan apa yang membuat dirinya harus duduk sebagai pesakitan di kursi terdakwa korupsi.

“Saya tak menangani proyek bioremediasi, saya tak berada di Indonesia dalam sebagian besar periode yang disangka bermasalah, saya tak berhubungan dengan kontrak proyek bioremediasi dan tak mengenal para kontraktor yang disebut bersama-sama korupsi dengan saya. Saya tetap tak menemukan jawaban.”

Menurut Rumbi dirinya hanya mendengar bahwa jaksa menilai dirinya tidak mengerjakan tugas dengan baik dalam melihat laporan program-program lingkungan CPI termasuk bioremediasi. Jaksa menilai kalau dirinya bekerja betul maka proyek ini bisa dihentikan.

“Ini gimana? Saya sendiri baru diangkat jadi manajer saat proyek sudah mau selesai. Atasan saya pun tak pernah mengeluh soal kinerja saya bahkan atasan saya menjelaskan bahwa saya tak bertanggung jawab dalam proyek bioremediasi,” ungkapnya dengan nada sedikit meninggi.

Rumbi meyakini bahwa jawaban yang pasti adalah bahwa Allah sedang mengujinya untuk menjadi semakin dekat dan ikhlas kepada-Nya. “Hanya ada satu Tuhan bagi saya, jaksa dan hakim. Saya berdoa bahwa perjuangan saya untuk keadilan dari manusia akan berbuah pahala dan keadilan dari Allah, Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Mengetahui,” pungkasnya.

(Iksan Tejo / duniaenergi@yahoo.co.id)