Bachtiar Abdul Fatah.

Bachtiar Abdul Fatah.

JAKARTA – Usai persidangan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dengan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin, 29 Juli 2013, penasehat hukum karyawan CPI, Maqdir Ismail kembali menegaskan bahwa kasus Bachtiar sebenarnya sudah ditutup pengadilan. Karyawan CPI itu terkesan menjadi korban sebuah peradilan yang sesat.

Maqdir mengaku, ia dan kliennya sampai saat ini, tetap menghormati proses hukum yang sedang berjalan meski tidak mengerti, dasar dan alasan hukum apa yang menjadikan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dan Kejaksaan Agung (Kejagung) tetap ngotot menggelar sidang tersebut. Padahal status Bachtiar sebagai tersangka telah dibatalkan oleh putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

“Dalam putusan praperadilan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah berkekuatan hukum tetap pada 27 November 2012 lalu, telah diputuskan  pembebasan Bachtiar dari tahanan dan membatalkan penetapan Bachtiar sebagai tersangka kasus bioremediasi, karena penahanan dan penetapannya sebagai tersangka tidak didahului dengan bukti-bukti yang cukup. Artinya Pengadilan secara resmi telah menutup kasus Bachtiar terkait proyek bioremediasi ini,” ungkap Maqdir.

“Menurut hukum Indonesia, kasus Bachtiar ini tidak dapat dibuka kembali tanpa adanya putusan resmi dari Mahkamah Agung (MA) yang menganulir putusan pengadilan tersebut,” jelas Maqdir. Namun Kejagung ngotot tetap menyeret kembali Bachtiar ke persidangan bioremediasi, dengan alasan adanya surat MA yang menjadi dasar hukum memperkarakan kembali Bachtiar.

Menurut Maqdir, Kejagung berulangkali mengaku telah memiliki surat balasan dari MA yang kemudian dijadikan alasan oleh Kejagung untuk memproses lagi kasus ini. “Surat dinas atau korespondensi sekalipun yang dikeluarkan MA, tidak memiliki konsekuensi hukum apapun untuk menganulir sebuah putusan pengadilan,” tegas Maqdir.

“Kami telah melaporkan dan mengirimkan surat ke Komisi Yudisial dan MA untuk meminta keterangan dan salinan surat tersebut, karena kami belum pernah melihatnya. Sangat keliru dan tidak bisa diterima, kalau surat dinas dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi sehingga bisa menganulir  putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap dan mengikat. Ini bisa jadi pengadilan yang sesat,” tukas Maqdir.

Tidak Berperan Dalam Tender

Persidangan Bachtiar sendiri hari itu, digelar dengan agenda mendengarkan keterangan para saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU). Sidang yang tadinya direncanakan berlangsung mulai pukul 09.00 WIB, baru dimulai sekitar pukul 12.30 WIB dan selesai sekitar pukul 16.15 WIB. Dalam sidang, para saksi kembali menegaskan, Bachtiar tidak mempunyai peranan apa pun dalam proses tender proyek bioremediasi.

Dalam persidangan seminggu sebelumnya, dua saksi yang dihadirkan pun telah menegaskan hal itu. Dua saksi dari karyawan CPI itu adalah I Ketut Suradi petugas administrasi lelang, dan Budi Herdijono yang menjabat sebagai sekretaris panitia lelang.

Dalam kesaksiannya, Ketut menegaskan bahwa seluruh proses pelelangan dan penunjukan PT Sumigita Jaya sebagai kontraktor proyek bioremediasi, telah sesuai dengan PTK 007 yang mengatur proses lelang dan telah mendapat surat persetujuan penunjukan pemenang tender dari BP Migas L075/BPD3000/2008/S7.

Ketut menyatakan bahwa Sumigita terpilih karena selain telah memenuhi persyaratan, dan menawarkan harga yang lebih murah dibanding yang lain. Dan dalam lelang itu, kata Ketut, Bachtiar tidak ada sangkut pautnya dengan proses penunjukan Sumigita. Saat lelang itu berlangsung, Bachtiar menjabat General Manager Sumatera Light South (SLS) dan tidak masuk dalam tim lelang tersebut.

“Selama saya menjalankan tugas sebagai petugas administrasi lelang saya tidak bersinggungan dengan Bachtiar. Bahkan nama Bachtiar tidak pernah tercantum dalam dokumen-dokumen pelelangan tersebut. Selaku GM SLS, terdakwa tidak bisa ikut intervensi dalam proses pengadaan,” tegas Ketut.

Tidak Tentukan Pemenang Lelang

Sementara itu saksi Budi Herdijiono ketika dikonfirmasi oleh Jaksa Penuntut Umum, menyatakan bahwa pada 2011 Sumigita ditunjuk langsung untuk melanjutkan pekerjaan bioremediasi di SLS dibawah bridging contract, untuk menjembatani kontrak sebelumnya yang telah habis masa berlakunya.

Bridging contract dilakukan, tutur Budi, karena kontrak yang baru sedang dalam proses sementara jasa-jasa masih diperlukan di dalam operasi. “Selaku general manager SLS, Bachtiar berkewajiban menandatangai dokumen tersebut karena proyek tersebut berada dibawah wilayahnya tetapi Bachtiar sendiri tidak dapat menentukan siapa pemenang penunjukan bridging contract,” ujar Budi.

Kedua saksi juga menegaskan bahwa seluruh proses pelelangan CPI hanya mengacu pada peraturan yang tercantum dalam PTK 007 dari BPMIGAS. Selain itu selama selama ini BPMIGAS tidak pernah membatalkan kontak bridging maupun kontak utama proyek bioremediasi.

Kontrak Tidak Pernah Dibatalkan

Sementara dalam sidang yang berlangsung Senin, 29 Juli 2013, dari 5 saksi yang diajukan oleh JPU hanya dua yang bisa dihadirkan di persidangan, yaitu Suriadi dan Herland bin Ompo. Dalam keterangannya Suriadi menjelaskan bahwa kontraktor pemenang tender proyek bioremediasi yaitu PT Sumigita Jaya, telah memenuhi semua persyaratan administrasi, teknis dan termasuk memiliki harga penawaran terkecil dibanding peserta tender lainnya.

“Semua persyaratan yang tertuang dalam dokumen tender telah dipenuhi,” jelas Suriadi.Ia pun menjelaskan, SKK Migas tidak pernah membatalkan kontrak proyek bioremediasi ini sehingga proyek dan kontrak ini dijalankan sesuai dengan rencana. “BPMIGAS (SKK Migas) tidak meminta ada langkah yang harus diulang, BP Migas hanya meminta panitia diganti dengan yang bersertifikat,” jelas Suriadi.

Direktur PT Sumigita Jaya, Herland bin Ompo yang juga menjadi terdakwa dalam kasus bioremediasi dan divonis bersalah oleh hakim,  menyatakan bahwa pengadaan dilaksanakan oleh panitia pengadaan dan terdakwa Bachtiar sebagai GM SLS sama sekali tidak terlibat dan tidak memiliki peranana dalam proses pengadaan ini termasuk dalam hal penentuan harga.

“Terdakwa memang yang menandatangani kontrak, namun terdakwa tidak memiliki tugas di lapangan. Saya tidak pernah bertemu terdakwa di lapangan, sebab saya menerima order dari tim REM dan pengerjaan proyek pun diawasi oleh tim REM,” ungkap Herland.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)