Para karyawan Chevron hadir di persidangan dengan berpakaian hitam, simbol duka atas matinya keadilan dalam penanganan kasus bioremediasi.

JAKARTA – Ditengah kerja keras dalam meningkatkan target produksi, operasi minyak dan gas bumi (migas) Indonesia menghadapi ancaman serius berupa kriminalisasi, yang tercermin dari dipaksakannya dugaan tindak pidana korupsi pada proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia.

Adanya ancaman yang cukup serius ini tidak ditampik oleh Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan, saat dimintai komentarnya terkait tuntutan hukuman belasan tahun penjara, yang diajukan jaksa penuntut umum dalam persidangan kasus bioremediasi, terhadap dua pimpinan perusahaan kontraktor Chevron, Herlan bin Ompo dan Ricksy Prematuri.  

Dony menjelaskan bahwa dalam operasi migas di Indonesia, pemerintah bermitra dengan pihak investor dalam suatu hubungan kontrak bisnis yang dikenal sebagai Production Sharing Contract (PSC). Dalam pelaksanaannya, Chevron mengeluarkan dana investasi untuk mengoperasikan produksi migas yang kemudian diperhitungkan sebagai biaya operasi terhadap minyak yang dihasilkan, yang dikenal sebagai cost recovery.

Sebelum dilaksanakan, kata Dony, semua rencana program dan anggaran (WP&B) harus disampaikan dan harus lebih dulu disetujui oleh pemerintah selaku regulator, lewat institusi yang diberi kewenangan untuk itu yakni Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

“Dalam pelaksanaannya, operasi migas pun selalu dimonitor dan diaudit oleh SKK Migas bersama lembaga audit pemerintah yang berwenang, sesuai dengan mekanisme dalam PSC,” ujarnya kepada Dunia Energi di Jakarta, Senin, 29 April 2013.

Dony pun lantas mempertanyakan, apakah cukup adil jika karyawan dan kontraktor Chevron, kemudian dituding melakukan korupsi dan dipidana akibat melakukan suatu kegiatan, yang sebelumnya sudah disetujui oleh pemerintah? Ia menegaskan, sejatinya perusahaan migas atau Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) migas seperti Chevron, hanya melaksanakan apa-apa yang sudah disetujui pemerintah. Tidak akan melangkah diluar persetujuan pemerintah.

Terkait kasus bioremediasi, Dony menilai bahwa lembaga pemerintah manapun harus merujuk penyelesaian kasus proyek bioremediasi ini kepada SKK Migas, dan lembaga pemerintah yang berwenang dalam melakukan audit dan persetujuan terhadap proyek-proyek dalam Production Sharing Contract (PSC) yang mengatur operasi Chevron.

PSC merupakan kontrak perdata antara Chevron dan Pemerintah Indonesia, yang mengatur secara jelas mekanisme penyelesaian sengketa yang harus dijalankan apabila ada pertanyaan seputar proyek yang harus dijawab oleh perusahaan.

Tidak Ada Kerugian Negara

Ia pun menambahkan, tuntutan jaksa terhadap para terdakwa para kontraktor Chevron, adalah tuntutan tak berdasar dan telah mengabaikan sepenuhnya fakta-fakta selama persidangan. Bahwa selama proses di persidangan yang berlangsung sejak Desember 2012, tidak ada bukti yang sah yang diajukan oleh jaksa, mengenai kerugian negara yang menjadi dasar tuduhan korupsi terhadap masing-masing individu.

“Dan faktanya, tidak ada bukti adanya tindakan pidana dari para terdakwa ini yang menjadi dasar penyidikan untuk menuntut mereka,” tukas Dony lagi. Cost recovery yang juga katanya dikorupsi, sama sekali tidak dibayar dari kas negara. Melainkan dari hasil produksi masing-masing KKKS.

Ia menuturkan, saksi-saksi dalam persidangan dari pemerintah, SKK Migas dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah menjelaskan bahwa program bioremediasi telah sesuai dengan perundangan yang berlaku dan kebijakan pemerintah. Pengadilan pun telah mendengar dari ahli independen bahwa program bioremediasi telah berhasil membersihkan tanah lebih dari setengah juta meter kubik.

“Jika pihak pemerintah yang kompeten telah memberikan keterangan seperti itu, maka pihak manapun seyogyanya menghargai karena hal tersebut mencerminkan adanya kepastian hukum atas kontrak yang telah disepakati pemerintah. Oleh karena itu sangat jelas bahwa berlanjutnya kasus ini adalah ancaman serius bagi operasi migas nasional dan seharusnya segera dihentikan,” tutur Dony lagi.

Mengancam Perekonomian

Pada kesempatan sebelumnya, Dony pernah menuturkan kepada Dunia Energi bahwa akibat diseretnya proyek bioremediasi ke kasus kriminal, membuat banyak pelaku usaha migas ketakutan. Terlebih para kontraktor Chevron diluar kegiatan bioremediasi, yang kemudian merasa tidak cukup aman menjalankan usaha di sektor migas.

Tanpa adanya keterlibatan kontraktor, diakui oleh Dony sulit diharapkan adanya percepatan apalagi peningkatan produksi migas nasional. Karena para kontraktor inilah yang selama ini mensuplai berbagai kebutuhan baik peralatan, jasa perawatan, maupun jasa konstruksi bagi kegiatan operasi migas.

Hal senada juga pernah diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Dipnala Tamsil bahwa akibat mencuatnya kasus bioremediasi, banyak investor migas menilai tidak ada kepastian hukum dalam berbisnis di Indonesia. Mereka pun menjadi ragu-ragu, atau mengurungkan niatnya berinvestasi lebih besar dalam pengelolaan potensi migas Indonesia.

Padahal sampai saat ini, sektor migas merupakan tulang punggung perekonomian nasional, lewat kontribusinya yang mencapai 30% lebih dari total penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia setiap tahunnya. Jika gairah usaha di sektor migas menjadi lesu akibat kasus bioremediasi, sudah tentu akan sangat mengancam perekonomian nasional.   

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)