RELAKSASI ekspor mineral mentah dan renegosiasi kontrak dengan perusahaan tambang, khususnya dengan PT Freeport Indonesia, anak usaha Freeport-McMoRan Inc, perusahaan asal Amerika Serikat menjadi isu besar di sektor mineral dan batu bara (minerba) nasional. Selain tentu saja, geliat sektor batu bara seiring peningkatan harga batu bara sepanjang 2017.

Tak lama setelah pergantian tahun, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang perubahan keempat atas PP Nomor 23 Tahun 2010 mengenai pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara menjadi lembaran baru sektor minerba. Regulasi yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 11 Januari 2017 tersebut merupakan Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Salah satu poin penting dalam regulasi tersebut berupa perubahan ketentuan tentang divestasi saham hingga 51% secara bertahap. Seiring dengan itu semua pemegang kontrak karya dan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib mengikuti aturan tersebut. Ini tentu saja berdampak terhadap Freeport yang sebelumnya hanya diwajibkan untuk mendivestasi 30% sahamnya.

Dalam PP Nomor 1 tahun 2017 pasal 97 ayat 2 dinyatakan tahapan divestasi yakni, tahun keenam 20% (dua puluh persen), tahun ketujuh 30% (tiga puluh persen), tahun kedelapan 37% (tiga puluh tujuh persen), tahun kesembilan 44% (empat puluh empat persen) dan tahun kesepuluh 51% (lima puluh satu persen) dari jumlah seluruh saham.

Selain itu, perubahan jangka waktu permohonan perpanjangan untuk IUP dan IUPK paling cepat lima tahun sebelum berakhirnya jangka waktu izin usaha.

Poin lainnya kewajiban pemegang kontrak karya itu untuk merubah izinnya menjadi rezim perizinan pertambangan khusus operasi produksi. Serta penghapusan ketentuan bahwa pemegang KK yang telah melakukan pemurnian dapat melakukan penjualan hasil pengolahan dalam jumlah dan waktu tertentu.

Dan pengaturan lebih lanjut terkait tatacara pelaksanaan peningkatan nilai tambah dan penjualan mineral logam akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Sebagai turunan dari PP Nomor 1, pemerintah juga menerbitkan dua Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai petunjuk pelaksanaan PP tersebut.

Pertama, Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017 tentang peningkatan nilai tambah mineral untuk kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri. Serta kedua, Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017 tentang tata cara dan persyaratan pemberian rekomendasi pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri hasil pengolahan dan permurnian.

Permen ESDM Nomor 5 menyebutkan pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK OP, IUP OP khusus pengolahan dan/atau pemurnian wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan sesuai batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian. Pelaksanaan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan dapat dilakukan sendiri atau atas kerja sama.

Nikel kadar rendah di bawah 1,7% dan bauksit kadar rendah di bawah 42% wajib diserap fasilitas pemurnian minimum 30% dari kapasitas input smelter. Apabila kebutuhan dalam negeri nikel kadar rendah dan bauksit kadar rendah telah terpenuhi dan masih tersedia yang belum terserap, maka sisa biji nikel dan bauksit kadar rendah dapat di jual ke luar negeri (ekspor). Inilah yang kemudian dikenal sebagai relaksasi atau pelonggaran larangan ekspor mineral mentah.

Pemerintah juga memberikan kesempatan pemegang kontrak kerja mineral logam dan juga IUP OP serta IUPK OP dan UP OP khusus pengolahan dan/atau pemurnian melakukan penjualan konsentrat ke luar negeri.

Ada pun syarat ekspor konsentrat adalah mengubah status Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK OP, memberikan komitmen pembangunan smelter serta membayar bea keluar maksimum 10% sesuai progress fisik dan realisasi keuangan pembangunan smelter.

Ekspor konsentrat hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi persetujuan ekspor dari Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM atas nama Menteri ESDM.

Untuk Permen ESDM Nomor 6 berisi mengenai tata cara mendapatkan rekomendasi.

Lalu bagaimana setelah hampir setahun regulasi-regulasi tersebut terbit? Freeport hingga kini masih terus terjadi tarik ulur. Di tengah ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di Tambang Grasberg, Papua yang dikelola Freeport, pemerintah pun memberikan izin ekspor konsentrat.

Untuk memuluskan kebijakan memberikan izin ekspor konsentrat, pemerintah pun menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sementara. Ini dilakukan karena Freeport terkesan enggan menanggalkan statusnya sebagai pemegang kontrak karya.

Tak hanya itu, Freeport tidak beranjak untuk mulai membangun smelter tembaga seperti yang dipersyaratkan. Progress-nya hanya mentok pada kesepakatan untuk menggunakan lahan PT Petrokimia Gresik. Freeport bersikukuh untuk menunggu kepastian perpanjangan kontrak yang akan berakhir pada 2021. Freeport ingin kontrak diperpanjang hingga 2041 agar smelter yang dibangun sesuai dengan keekonomian.

Untuk poin divestasi 51% pun hingga tahun 2017 berganti bisa disebut tidak jelas. Pemerintah telah menyiapkan induk usaha (holding) BUMN tambang, yakni PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang menaungi PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukit Asam Tbk dan PT Timah Tbk untuk mengambil alih sisa divestasi 51% saham Freeport. Saat ini, holding BUMN tambang telah menguasai 9,46% saham Freeport yang sebelumnya dikuasai pemerintah melalui Kementerian BUMN. Sayangnya, perhitungan valuasi saham belum juga mencapai titik temu.

Sukhyar, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM periode Desember 2013-April 2015, mengatakan Freeport melihat poin-poin yang diatur pemerintah dalam regulasi yang ada sebagai satu kesatuan. Dengan begitu, jika ada yang tersisa atau belum tuntas, maka bisa dipastikan Freeport akan menolak.

“Jadi kalau Freeport begini-gini saja, pemerintah harus ambil sikap. Akhiri 2021, biarkan dia ekspor sampai 2021 walaupun melanggar UU. Konsultasi saja dengan DPR, jadi minta backup DPR,” tegas Sukhyar yang saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Perindustrian kepada Dunia Energi beberapa waktu lalu.

Menurut Sukhyar, kontrak karya merupakan isu sentral. Pemerintah berhati-hati menghadapi Freeport karena bisa digugat karena melanggar UU. Freeport bisa jadi membawa pemerintah ke arbitrase dengan alasan melanggar pasal yang menyebutkan pemerintah tidak boleh menunda atau menghalang-halangi untuk memperpanjang kontrak Freeport 2×10 tahun. Apabila jika tidak ada alasan yang reasonable.
“Saya pernah tanya Pak Hikmahanto (Guru Besar Fakultas Hukum UI), maknanya apa yang reasonable. Ada dua, pertama bisa ditakar misalkan bangun smelter. Kemajuannya itu bisa ditakar. Kedua kalau rakyat indonesia menolak Freeport,” ungkap Sukhyar.

Kalau sudah begitu, tentu yang harus ditunggu adalah sikap dan keberanian pemerintah menghadapi Freeport. Dan ini tentu akan bisa dilihat pada 2018.

Selain memberikan izin ekspor konsentrat kepada Freeport, pemerintah pada 2017 juga telah memberikan izin ekspor bijih nikel dan bauksit kadar rendah. Sepanjang tahun ini pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menerbitkan rekomendasi ekspor bagi 14 perusahaan berbasis komoditas nikel dengan kuota ekspor sebesar 22,9 juta ton. Namun hingga 30 November 2017 realisasi ekspor bijih nikel kadar rendah baru mencapai tiga juta ton.

Untuk komoditas bauksit rekomendasi ekspor telah diberikan kepada enam perusahaan dengan kuota ekspor sebesar 14,9 juta ton dan realisasi hingga 30 November 2017 hanya sebesar 696 ribu ton.

Pasca terbitnya PP 1 Tahun 2017 beserta turunannya Permen ESDM No 5/2017 dan Permen ESDM No. 6/2017 yang memberikan insentif bagi pelaku usaha yang membangun fasilitas pemurnian untuk dapat menjual bijih nikel kadar rendah dianggap mampu mendorong minat pelaku usaha untuk dengan sungguh-sungguh membangun fasilitas pemurnian baru atau bahkan mendorong existing smelter meningkatkan kapasitas fasilitas pemurnian yang telah ada.

Tercatat ada 11 perusahaan yang berinvestasi baru dan dua perusahaan melakukan ekspansi dengan total investasi yang akan ditanamkan sebesar US$4,3 miliar (Rp 56 triliun) dengan kapasitas input sebesar 28 juta ton bijih nikel.

Pada komoditas bauksit, insentif peningkatan nilai tambah mampu mendorong investasi baru untuk membangun 4 fasilitas pemurnian sebesar US$4 miliar atau Rp 52 triliun yang akan meningkatkan kemampuan memurnikan bauksit di dalam negeri sebesar 13 ,7 juta ton.

Harga Komoditas

Setelah mengalami tekanan harga dari 2014 akibat pelemahan pasar stainless steel, pada pertengahan 2016 harga nikel sempat naik akibat adanya kekhawatiran pasar atas rencana penghentian kegiatan penambangan apabila perusahaan tidak comply atas hasil audit lingkungan yang dilakukan Pemerintah Filipina. Namun faktor terbesar yang mempengaruhi fluktuasi harga nikel adalah tingkat konsumsi stainless steel, penurunan harga stainless steel serta meningkatnya stok nikel di London Metal Exchange (LME) dan Shanghai Futures Exchange (SHFE).

Pasar nikel sempat memberikan sentimen negatif terhadap adanya perubahan kebijakan ekspor bijih nikel kadar rendah karena adanya kekhawatiran memanasnya kompetisi supplier bijih nikel. Seiring dengan diperolehnya informasi yang akurat atas kebijakan ekspor nikel kadar rendah dari Indonesia, selama kurun waktu enam bulan sejak diberikan rekomendasi ekspor oleh Kementerian ESDM pada 4 Juli 2017, harga nikel menunjukkan tren meningkat dari US$9.012 per ton menjadi US$12.080 per ton pada Desember 2017.

Pemerintah melalui Peraturan Menteri ESDM 7 Tahun 2017 telah mengatur patokan harga mineral logam sebagai acuan dalam perhitungan royalti, namun berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan penjualan di dalam negeri dan ekspor ditemukan bahwa untuk penjualan di dalam negeri terdapat kecenderungan praktek menekan harga. Pembeli besar dapat dengan mudah menekan harga kepada penambang.

“Dengan diterbitkannya ketentuan Formula Harga Patokan Mineral dan adanya opsi untuk melakukan ekspor pada bijih kadar rendah yang tidak dapat digunakan pada fasilitas pemurnian di dalam negeri, deviasi transaksi dalam negeri dari Harga Patokan Mineral dapat diperkecil,” kata Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM.

Tidak hanya nikel, perusahaan-perusahaan tambang batu bara dan pendukungnya juga ikut menikmati perbaikan harga komoditas. Jika sepanjang 2013 hingga jelang 2016 harga batu bara terus menurun, bahkan harga batu bara acuan (HBA) pernah mencapai level terendah US$50,92 per ton pada Februari 2016, maka HBA bangkit pada pertengahan hingga akhir 2017.

Kementerian ESDM mencatat pada Desember 2017, HBA mencapai US$94,04 per ton, turun tipis dibanding bulan sebelumnya US$94,84 per ton. HBA Desember memang terkoreksi dibanding periode yang sama 2016. Namun saat itu, HBA tercatat sebagai level tertinggi, yakni sebesar US$101,69 per ton, melonjak 19,79% dibanding HBA November yang mencapai US$84,89 per ton.

Kenaikan harga batu bara sepanjang tahun ini telah berdampak positif bagi kinerja keuangan perusahaan batu bara yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, seperti PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA).

Adaro Energy mencatat kenaikan pendapatan usaha sebesar 37% menjadi US$2,43 miliar pada periode sembilan bulan 2017. Kenaikan pendapatan ditopang kenaikan harga jual rata-rata batu bara perseroan sebesar 42%. Kenaikan harga berhasil menutup penurunan volume penjualan.

Kinerja positif juga dibukukan Bukit Asam. Laba bersih perseroan naik 250% menjadi Rp2,63 triliun pada sembilan bulan 2017 dibanding periode yang sama tahun lalu Rp1,05 triliun.

Kenaikan laba bersih ditopang oleh pertumbuhan yang tinggi dari volume produksi, angkutan dan penjualan, optimasi harga jual rata-rata batu bara serta efisiensi yang secara terus menerus dilakukan.

Selama periode sembilan bulan 2017, Bukit Asam membukukan pendapatan sebesar Rp13,22 triliun, naik 31,7% dibandingkan dengan periode yang sama 2016 sebesar Rp10,04 triliun.

Untuk 2018, tentu pergerakan harga komoditas akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan-perusahaan berbasis minerba. Selain tentu saja, kebijakan pemerintah dan strategi perusahaan itu sendiri akan ikut mempengaruhi mengantisipasi fluktuasi harga komoditas.(Alfian)