Persidangan kasus bioremediasi Chevron

Persidangan kasus bioremediasi Chevron

Jaksa bertindak bak pucuk pimpinan perusahaan. Menyimpulkan tugas dan menilai kinerja karyawan atas asumsinya sendiri. Para petinggi Chevron justru sama sekali tak disentuh.

Dengan suara bergetar nyaris memecahkan tangis, Endah Rumbiyanti membacakan pembelaannya. Siang itu, Rabu, 16 Juni 2013, di depan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ibu yang akrab disapa Rumbi ini, mengubah suasana ruang sidang yang tegang, menjadi diliputi haru.

Bagaimana tidak, setahun lebih ibu lima anak ini harus duduk di kursi pesakitan, menghadapi tuduhan kejahatan yang ia sendiri tidak tahu, dari mana pangkal persoalannya. Saat dijadikan tersangka kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia, Rumbi baru enam bulan bertugas di Tanah Air.

Sebelumnya, ia menjalani tugas belajar di Houston, Amerika Serikat sejak 2006, dan baru kembali ke Tanah Air pada akhir 2010. Beberapa saat menikmati bahagia berkumpul bersama keluarga, Rumbi diangkat menjadi Manajer Lingkungan Chevron Indonesia. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab, ia terima tugas itu. Namun tak disangka, dari situlah bermula mimpi buruk dalam hidupnya.

Saat kasus bioremediasi mulai bergulir pada akhir 2011, Rumbi diminta atasannya di Chevron Indonesia, untuk datang ke Kejaksaan Agung. Saat itu, para penyidik Kejaksaan Agung sedang membutuhkan pengetahuan yang komprehensif, terkait teknologi bioremediasi. Karena dianggap cukup memahami bioremediasi, dan punya skill yang bagus dalam memberikan penjelasan, alumni Fakultas Teknik Universitas Indonesia ini dipercaya petinggi Chevron, untuk memberikan penjalasan kepada para jaksa.

Tetap dengan prasangka baik, Rumbi melaksanakan tugas itu. di hadapan para jaksa, ia menceritakan bagaimana teknologi bioremediasi dijalankan, termasuk yang sudah diterapkan Chevron di Indonesia. Namun bak disambar geledek, di akhir penjelasan, ia disodori Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Rumbi ditetapkan sebagai tersangka.

Kacau balau perasaan Rumbi saat itu. Namun pada waktu berikutnya, ia tetap memenuhi panggilan kejaksaan, untuk memeriksanya sebagai tersangka. Tujuan Rumbi adalah mengklarifikasi bahwa dirinya bukanlah orang yang tepat, untuk dimintai pertanggungjawaban, terkait pelaksanaan proyek bioremediasi Chevron Indonesia. Karena sejak awal, ia tidak pernah terlibat dalam proyek yang berlangsung sejak 2006 itu. “Saat proyek itu berlangsung, saya di Amerika,” tuturnya.

Rumbi juga menjelaskan saat disidik pertama kali, meski menjabat Manajer Lingkungan, ia sama sekali tidak terlibat dalam tender, maupun pengambilan keputusan terkait pengadaan, yang menjadi ihwal tuduhan korupsi pada proyek bioremediasi. Karena memang bioremediasi mempunyai divisi sendiri di Chevron. “Atasan yang bertanggung jawab bukan saya,” urainya.

Mendengar penjelasan Rumbi itu, para jaksa penyidik di Gedung Bundar (sebutan untuk ruang penyidikan di Kejaksaan Agung) saling berpandangan, lantas bertanya kepadanya “kenapa Ibu ada di sini?”. Sekali lagi Rumbi menjelaskan, ia hanya datang memenuhi perintah atasannya, menjelaskan dan membagi ilmu soal bioremediasi. Toh jawaban itu tak membuat jaksa menyurutkan langkahnya menetapkan Rumbi sebagai tersangka.

Pembuatan tekstur tanah dan pengambilan sampel uji awal, salah satu tahapan pada proses bioremediasi Chevron.

Pembuatan tekstur tanah dan pengambilan sampel uji awal, salah satu tahapan pada proses bioremediasi Chevron.

Buah Hati Tak Terurus

Dengan hati hancur dan perasaan yang bingung, Rumbi terus melakukan pembelaan diri. Lulusan Terbaik SMA Cendana, Duri, Riau tahun 1993 ini tak mau namanya cemar, dituntut secara semena-mena, atas tuduhan kejahatan yang tidak pernah dilakukannya. Toh Rumbi tetap harus menjalani nasib, meringkuk selama dua bulan di sel tahanan Kejaksaan Agung. Sampai akhirnya ia dibebaskan oleh Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada November 2012.

Jaksa tak bergeming. Dengan segepok data yang sarat rekayasa, penuntutan terus dilanjutkan atas diri Rumbi. Empat rekannya sesama karyawan Chevron, Widodo, Kukuh Kertasafari, Bachtiar Abdul Fatah, dan Alexia Tirtawidjaja juga mengalami nasib yang sama. Dituduh korupsi dalam proyek bioremediasi, meski secara organisasi tidak punya kewenangan atas pelaksanaan program penanganan limbah minyak pada tanah itu. Dua kontraktor Chevron, Herland bin Ompo dan Ricksy Prematuri, sudah lebih dulu divonis hakim, masing-masing dengan lima tahun dan enam tahun penjara.

Selama menjalani penahanan dan mondar-mandir ke pengadilan, Rumbi kehilangan semua hak asasinya sebagai manusia merdeka. Pekerjaan berantakan, buah hati pun tak terurus. Tubuh wanita cantik ini terlihat semakin kurus. Salah satu yang masih membekas di hati Rumbi, bagaimana ia tidak bisa mengurus anaknya yang sedang sakit, karena harus berada dibalik jeruji tahanan kejaksaan.

Pekan-pekan belakangan ini, saat semua anak sedang berbahagia menikmati liburan sekolah, pergi pesiar menemukan pengalaman-pengalaman baru yang indah, buah hati Rumbi justru menghabiskan waktunya di pengadilan. Mendampingi ayah mereka, memberikan semangat kepada ibunya yang sedang menghadapi fitnah. Saat istirahat sidang, mereka bergelayut manja di kedua lengan ayahnya. Namun gerak mereka mendadak tak bergairah, tatkala menatap mata cekung ibunya yang nampak begitu lelah.

Demi semua penderitaan dan pengorbanan itu, pada Rabu siang, 16 Juni 2013, Rumbi berdiri tegak di hadapan Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum, serta barisan pengacara yang membelanya. Suaranya lantang, bahasanya tertata, namun tetap tak mampu menyembunyikan kegetiran saat membacakan pembelaan.  

Rekayasa Dakwaan

Oleh jaksa, pada 12 Juni 2013 lalu, Rumbi dituntut pidana penjara selama 4 tahun dikurangi masa tahanan, plus denda Rp 500 juta, subsidair 6 bulan kurungan. Jaksa mendakwanya telah melakukan tindak pidana, karena tidak menjalankan tugas sebagai Manager Lingkungan Chevron Indonesia, dalam hal memberikan saran dan masukan, guna memastikan pengolahan limbah minyak pada tanah dengan teknologi bioremediasi, dilakukan sesuai dengan aturan.

Menurut jaksa, karena Rumbi tidak memberikan saran dan masukan, maka PT Sumigita Jaya dan PT Green Planet Indonesia  selaku kontraktor bioremediasi Chevron, tidak melaksanakan pekerjaan sesuai aturan. Jaksa juga mendakwa, karena Rumbi tidak memberikan masukan dan saran, maka Chevron memenangkan PT Sumigita dan PT Green Planet dalam tender kontraktor bioremediasi, padahal kedua perusahaan itu tidak mempunyai izin melakukan bioremediasi dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Karena biaya melaksanakan kegiatan bioremediasi itu, diklaimkan Chevron sebagai cost recovery (biaya operasi yang dapat dimintakan penggantian ke pemerintah) maka Rumbi dianggap telah merugikan keuangan negara. Atas dakwaan tidak memberikan masukan dan saran itu, Rumbi dituding oleh jaksa telah melakukan tindak pidana korupsi.     

Jaksa menyebutkan, dakwaan terhadap Rumbi itu didasarkan pada Keputusan Menteri (Kepmen) Lingkungan Hidup (LH) Nomor 128 tahun 2003 tentang  Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi Secara Biologis. Regulasi ini merupakan payung hukum pelaksanaan bioremediasi di industri minyak dan gas (migas) Indonesia.

Menariknya, PT Sumigita dan Green Planet sudah menjadi kontraktor bioremediasi Chevron Indonesia sejak 2006. Sementara Rumbi baru diangkat menjadi Manajer Lingkungan Chevron Indonesia, sejak Juni 2011. Sejak 2006 sampai 2010 Rumbi berada di Amerika untuk tugas belajar. Dari sini saja, sudah sangat terlihat adanya sebuah rekayasa oleh jaksa.

Seolah tetap ingin mengaitkan Rumbi dengan dakwaan, jaksa pun mempersoalkan klaim cost recovery Chevron atas kegiatan bioremediasi periode 2011 – 2012. Yakni pembayaran kepada PT Sumigita sebesar USD 1,621 juta, dan pembayaran kepada Green Planet sebesar USD 204.660. “Kerugian keuangan negara USD 1,826 juta,” sebut jaksa penuntut umum dalam dakwaannya kepada Rumbi.

“Apakah saya layak didakwa sebagai sesorang yang mencuri uang negara? Apakah masuk akal bila seorang Rumbi yang tidak ada di Indonesia dari kurun waktu 2006-2011 menghilangkan uang negara sebesar uang yang dikeluarkan dari 2011-2012, dan harus bertanggung jawab untuk suatu kegiatan di periode 2006-2011?,” ucap Rumbi dengan suara bergetar namun tetap tegar.

“Apakah seorang yang baru bertugas 6 bulan tanpa kewenangan terhadap proyek (bioremediasi), pelaksanaan, pembiayaan, dan pembayaran, dapat menyebabkan uang negara hilang, tanpa ada sangkut pautnya dengan proyek tersebut di kurun enam tahun sebelumnya?,” tambah Rumbi membacakan pembelaannya di hadapan Mejelis Hakim yang diketuai Sudharmawati Ningsih.   

Pemupukan atau penambahan nutrisi tanah pada kegiatan bioremediasi Chevron.

Pemupukan atau penambahan nutrisi tanah pada kegiatan bioremediasi Chevron.

Didakwa Tak Sesuai Kewenangannya

Toh Rumbi tidak sendiri. Ada tiga lagi karyawan Chevron Indonesia yang senasib dengannya. Yaitu Kukuh Kertasafari, Widodo, dan Bachtiar Abdul Fatah. Sebenarnya ada satu lagi, yakni Alexia Tirtawidjaja. Sehingga totalnya ada lima karyawan Chevron Indonesia, yang hendak dijebloskan ke penjara oleh jaksa. Namun Alexia tak kunjung diperiksa, karena sedang merawat suaminya yang sakit di Amerika. Sempat ada wacana Alexia akan diadili secara in absentia, namun belum dilaksanakan.

Sama seperti Rumbi, Widodo tidak punya wewenang dan tidak ada sangkut pautnya dengan proyek bioremediasi. Jabatan Widodo di Chevron Indonesia adalah Team Leader Waste Sumatera Light North (SLN). Di Chevron, jabatan “Team Leader” ini delapan tingkat dibawah Presiden Direktur, masih tergolong pekerja lapangan kelas bawahan.

Tugas Widodo sehari-hari ialah memastikan pekerjaan setiap kontraktor di lapangan yang diawasinya, sudah sesuai dengan dokumen kontrak. Sesekali ia juga ditugaskan ikut hadir di rapat-rapat tender, untuk menjelaskan tentang kondisi lapangan yang akan digarap kontraktor. Setiap hari, setelah melakukan pemantauan dan pengecekan di lapangan, Widodo lalu melapor kepada atasannya.

“Apa yang sedang dipermasalahkan oleh JPU ini adalah kebijakan perusahaan, namun kemudian telah direkayasa agar bisa dibebankan kepada seorang karyawan rendahan seperti saya, yang tidak punya otoritas dan kewenangan untuk menentukan kebijakan perusahaan. Kini saya dan keluarga sayalah yang harus menanggung sengsara atas kedzaliman ini,” ungkap Widodo sambil menyeka air mata.

Herannya, Widodo justru dituntut 7 tahun penjara oleh jaksa.  Oleh jaksa, Widodo dituduh bersalah, karena dianggap tidak melakukan pekerjaannya dengan baik, dalam memantau pekerjaan kontraktor Chevron dalam proyek bioremediasi. Widodo dinilai jaksa telah membiarkan kontraktor bekerja dalam proyek bioremediasi, padahal caranya tidak sesuai dengan Kepmen LH 128/2003. Widodo juga dianggap tahu bahwa kontraktor tidak memiliki izin, namun dibiarkan terus mengerjakan proyek bioremediasi.

Pria 54 tahun ini sampai tak sanggup menahan air mata, saat membacakan pembelaannya di pengadilan.  “Sungguh hingga hari ini saya tidak mengerti dan tidak bisa menerima, mengapa harus saya, seorang karyawan biasa, yang dipilih untuk dijadikan korban dan diposisikan sebagai sasaran dakwaan. Saya diposisikan sebagai pemikul tanggung jawab dari masalah ini, sementara ada pihak-pihak yang justru lebih pantas bertanggung jawab berdasarkan otoritasnya dalam masalah ini, namun mereka tidak terusik sedikit pun,” ungkap bapak tiga anak ini terisak.

Lucunya, kata Widodo, atasan-atasannya setingkat manager dan general manager, yang justru berwenang dalam penandatanganan kontrak, termasuk atasan yang memberikan perintah dan penilaian terhadap kinerja Widodo, hanya dihadirkan ke pengadilan oleh jaksa sebagai saksi. Mereka sama sekali tidak dimintai pertanggungjawaban atas proyek ini oleh para penyidik kejaksaan.

“Kehadiran saya di rapat-rapat tender adalah atas perintah atasan karena saya orang lapangan, orang teknis yang diminta untuk membantu menjelaskan kondisi lapangan, agar kontrak benar-benar dimengerti oleh semua pihak, dan ini sesuai aturan tender di bisnis migas. Para atasan saya pula yang menandatangani dokumen kontrak, dan saya pun tidak pernah dipersoalkan kinerja saya oleh para atasan saya ini,” ujar Widodo.

Gara-gara ditahan dalam kasus bioremediasi ini, Widodo tidak bisa menghadiri wisuda sarjana buah hatinya. Lebih menyesakkan lagi, ia gagal menjadi wali nikah bagi seorang keponakannya, yang orangtuanya sudah meninggal dunia. Hanya dia paman laki-laki satu-satunya. Sebagai seorang muslim, Widodo merasa sangat berdosa dan merasa gagal menjadi paman yang bertanggung jawab.

Seperti diketahui, dalam hukum perkawinan Islam, jika seorang wanita ayah kandungnya telah meninggal, maka yang sah menjadi wali nikah adalah paman (laki-laki saudara kandung ayah) atau kakak kandung laki-laki yang sudah dewasa. Jika keduanya tidak ada, baru bisa meminta wali nikah ke Kantor Urusan Agama (KUA) dan ini biasanya terjadi pada wanita sebatang kara (tidak punya sanak saudara).

Karyawan Chevron dengan setia memberikan dukungan moral di persidangan kepada rekan-rekan dan mitra kerjanya menghadapi persidangan kasus bioremediasi.

Karyawan Chevron dengan setia memberikan dukungan moral di persidangan kepada rekan-rekan dan mitra kerjanya menghadapi persidangan kasus bioremediasi.

Salah Paham Jalan Terus         

Tak kalah menarik kisah Kukuh Kertasafari. Selain jabatannya cuma setingkat Widodo, ia juga sama sekali tidak terkait proyek bioremediasi. Jabatan Kukuh adalah Team Leader Produksi, sedangkan bioremediasi merupakan proyek lingkungan. Entah dari mana nyambungnya, sehingga Kukuh didakwa oleh jaksa telah melakukan korupsi dalam kasus bioremediasi.

Kukuh hanya ingat, pernah disuruh atasannya mengantar tim penyidik kejaksaan untuk mengambil sampel tanah tercermar minyak, di lapangan Sumatera Light South (SLS) Minas, Riau, pada 9 Februari 2012. Tugas itu diberikan ke Kukuh, karena alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) ini dianggap paling menguasai seluk beluk lapangan SLS. Kukuh pun melaksanakan tugasnya dengan baik.

Bak mimpi di siang bolong, sebulan kemudian Kukuh mengetahui dari berita di internet, namanya ditetapkan sebagai salah satu tersangka kasus bioremediasi Chevron. Disusul kemudian surat panggilan untuk menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar, pada 26 September 2012. Saat memenuhi panggilan kejaksaan itu, Kukuh memberanikan diri bertanya kepada salah seorang penyidik.   

“Saat itu saya bertanya kepada jaksa Amirullah kenapa saya jadi tersangka. Amirullah lalu panggil Sugeng dan bertanya, “Pak Sugeng, kenapa Kukuh dijadikan tersangka?”. Sugeng kemudian malah tanya kepada saya, “Pak Kukuh bukannya Team Leader Bioremediasi?”. Saya menjawab, “bukan, saya Team Leader Produksi.” Pembicaraan tidak berlanjut dan Sugeng permisi ke ruangan lain. Setelahnya tidak ada tindak lanjut apapun baik dari Sugeng maupun Amirullah,” ungkap Kukuh. Ia pun langsung ditahan pada hari pertama diperiksa sebagai tersangka.

Hingga saat ini, Kukuh meyakini penetapan tersangka atas dirinya, adalah salah paham. Karena dia yang mengantar para penyidik kejaksaan saat mengambil sampel tanah, dipikir jaksa jabatannya Team Leader Bioremediasi. Tapi entah mengapa, setelah dijelaskan jabatannya bukan Team Leader Bioremediasi tetapi Team Leader Produksi, penahanannya tetap dilanjutkan dan dirinya dijadikan terdakwa.

Pada Selasa dini hari, 11 Juni 2013, Kukuh dituntut oleh jaksa pidana penjara 5 tahun, dan denda Rp 500 juta, subsidair enam bulan kurungan. Kukuh dituduh bersama-sama terdakwa yang lain, memperkaya Herland bin Ompo selaku Direktur PT Sumigita, sehingga merugikan keuangan negara.

Terhadap dakwaan Kukuh, lagi-lagi jaksa melakukan rekayasa. Seolah ingin menyelamatkan muka karena telah salah mengira Kukuh Team Leader Bioremediasi, jaksa menjerat Kukuh dari posisinya sebagai Koordinator EIST (Environment Issue Settlement Team). EIST adalah tim ad hoc (tidak tetap) yang dibentuk karyawan Chevron, untuk berkoordinasi soal klaim tanah masyarakat. Semua perwakilan divisi ada dalam tim yang terbentuk tanpa SK (Surat Keputusan) itu.

Biasanya memang, yang menjadi koordinator EIST adalah perwakilan dari divisi produksi. Kukuh duduk di sana, untuk menggantikan koordinator sebelumnya yang juga Team Leader Produksi, namun sudah pindah tugas. Berkali-kali, baik Kukuh maupun atasannya menjelaskan di pengadilan, EIST tidak menentukan tanah tercemar limbah yang harus dibioremediasi. Namun jaksa tetap ngotot, mendakwa Kukuh tahu tanah yang diolah Sumigita sebenarnya tidak tercemar dan tidak perlu bioremediasi, namun membiarkan kontraktor Chevron itu terus mengerjakannya.

Kukuh Kertasafari dalam persidangan kasus bioremediasi.

Kukuh Kertasafari dalam persidangan kasus bioremediasi.

Dakwaan Diplintir

“Kesalahan fatal jaksa penuntut umum, adalah ketika mengkonstruksikan EIST sebagai organisasi tersendiri yang membawahi berbagai tim, dan menampilkan saya sebagai pucuk pimpinannya. Sehingga saya harus dibebani tanggung jawab atas kegiatan yang bukan berada di bawah tugas dan wewenang saya,” ungkap Kukuh dalam pembelaannya di sidang kasus bioremediasi, Senin, 17 Juni 2013.

Soal siapa yang bertanggung jawab menentukan tanah tercemar, sebenarnya sudah tercermin dalam berkas tuntutan yang dibacakan sendiri oleh jaksa, yakni Tim IMS-REM. Tim IMS-REM bertugas menentukan lokasi tanah tercemar, untuk pembelian ditugaskan kepada Tim Land, pengerjaan bioremediasi oleh kontraktor dibawah pengawasan tim IMS-REM, pembayaran jasa kontraktor  dilakukan tim IMS-REM dan tim Finance, sedangkan pengajuan anggaran bioremediasi sebagai dana cost recovery  menjadi tugas Tim Finance.

Namun demi suksesnya hasrat memenjarakan Kukuh, lagi-lagi jaksa memelintir dakwaannya. Menurut jaksa, karena dalam EIST terdiri dari perwakilan berbagai divisi, termasuk perwakilan Tim IMS-REM, Tim Land, dan Tim Finance, maka Kukuh sebagai Koordinator EIST, dianggap tahu lokasi-lokasi tanah mana saja yang tercemar dan tidak tercemar. Jadi menurut jaksa, Kukuh tetap harus dipidana. Kukuh pun hanya bisa menepuk jidat dan geleng-geleng kepala.           

Lain lagi kisah Bachtiar Abdul Fatah. Oleh jaksa, Bachtiar didakwa saat menjabat  General Manager Sumatera Light South (SLS) PT Chevron Pacific Indonesia,  telah memperkaya Direktur PT Sumigita, karena menandatangani kontrak bridging senilai USD 741.402. Padahal, kata jaksa, Bachtiar mestinya tahu izin pengolahan tanah terkontaminasi minyak untuk lima SBF (Soil Bioremediation Facility) Minas dan Kotabatak sudah berakhir. Ditambah lagi, Sumigita tidak punya izin mengolah limbah.

Soal dakwaan terhadap Bachtiar ini, Kepala Deputi IV Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Masnellyarti Hilman telah memberikan keterangannya di pengadilan. Menurut Masnellyarti, sesuai Kepmen LH 128/2003, yang wajib memiliki izin bukanlah kontraktor bioremediasi, melainkan PT Chevron Pacific Indonesia selaku pemilik limbah sekaligus pemilik teknologi bioremediasi. “Chevron sudah memiliki izin melakukan bioremediasi,” tegas pejabat KLH yang akrab disapa Nelly ini.

Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan juga menjelaskan, teknologi bioremediasi yang diterapkan di lapangan Chevron, adalah teknologi Chevron sendiri yang sudah dikembangkan sejak 1990-an. Pada 2002, KLH mengeluarkan izin untuk Chevron menerapkan bioremediasi di wilayah operasinya. Sumigita dan Green Planet, kata Dony, adalah kontraktor sipil untuk kegiatan bioremediasi, seperti mengangkut tanah, meratakan tanah, dan sebagainya.

Terkait izin untuk 5 SBF yang sudah habis, Nelly juga sudah memberikan penjelasan dalam beberapa persidangan. Ia membenarkan izin itu habis, namun sebelum jatuh tempo tanggal habisnya izin, Chevron sudah mengajukan perpanjangan. Proses administratif yang membuat perpanjangan izin itu tidak segera terbit. Namun kata Nelly, KLH telah memberi persetujuan kepada Chevron untuk terus melakukan kegiatan bioremediasi saat izin sedang diperpanjang. Hal ini mengingat dalam pasal 54 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa pemulihan tanah tecemar minyak tidak bisa ditunda.

“Chevron juga taat dalam menjalankan kegiatan bioremediasi saat izin sedang diperpanjang. Hal ini sesuai dengan SK Menteri LH Nomor: 258A tahun 2010, yang menyatakan bahwa jika secara teknis di lapangan sudah memenuhi persyaratan, tapi secara administrasi bermasalah, maka dianggap taat,” jelas Nelly di hadapan majelis hakim serta jaksa penuntut umum.

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor dalam kasus bioremediasi Chevron.

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor dalam kasus bioremediasi Chevron.

Jaksa Jadi Pengaudit Kinerja

Namun ibarat masuk kuping kanan – keluar kuping kiri, keterangan pejabat yang mengawasi langsung kegiatan bioremediasi Chevron itu, sama sekali tidak dijadikan pertimbangan oleh jaksa maupun hakim. Majelis Hakim yang diketuai Sudharmawati Ningsih, tetap memvonis bersalah dua kontraktor Chevron, yakni Herlan selaku Direktur Sumigita dan Ricksy Prematuri selaku Direktur Green Planet Indonesia, dengan hukuman masing-masing 6 tahun dan 5 tahun penjara. Mereka divonis melakukan korupsi.

Perlu dicatat, putusan majelis hakim kasus bioremediasi ini tidak bulat. Satu Hakim Anggota yakni Sofialdi, mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) terkait vonis tersebut.  Sofialdi menegaskan, Green Planet Indonesia memang tidak wajib mengantongi izin pengolahan limbah dari KLH. Green Planet juga telah melaksanakan pekerjaan bioremediasi sesuai kontrak dengan Chevron.

”Unsur melawan hukum tidak terbukti, Ricksy harus dibebaskan,” tutur Sofialdi. Terkait pembayaran pekerjaan berdasarkan kontrak, Sofialdi menegaskan Ricksy tidak mengambil keuntungan yang tidak sah. ”Keuntungan yang diterima Ricksy sudah sesuai dengan pekerjaannya. Penerimaan pembayaran kontrak adalah pembayaran yang wajar,” tegas hakim Sofialdi.

Toh kesuksesan menggiring Herlan dan Ricksy menjadi terpidana di awal Mei 2013, membuat para jaksa penyidik kasus bioremediasi semakin percaya diri. Bachtiar yang sudah diputus bebas dan tidak terkait kasus bioremediasi oleh Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada November 2012, ditetapkan lagi sebagai tersangka dan dijemput paksa di rumahnya pada 17 Mei 2013. Padahal, tidak ada selembar pun balasan dari Mahkamah Agung terkait keberatan jaksa atas putusan praperadilan itu.

Abai dengan berbagai prosedur penetapan tersangka, para jaksa tetap mendudukan Bachtiar sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Jika benar saya melakukan pelanggaran dan menyalahgunakan wewenang seperti yang disangkakan jaksa penuntut umum, tentu atasan saya dan pimpinan Chevron akan menerapkan konsekuensi keras, termasuk memecat saya,” ujar Bachtiar dalam pembelaannya di depan persidangan, Rabu, 19 Juni 2013.  

Bachtiar mengaku heran, jaksa seolah memposisikan diri sebagai atasannya, dan mengaudit kinerjanya. Mestinya yang paling tahu dia menyalahgunakan wewenang atau tidak, adalah atasannya atau para pimpinan Chevron. Bachtiar mengaku tidak pernah mendapat teguran atau tindakan disiplin apapun atas kinerjanya, bahkan sebaliknya mendapatkan dukungan dan pujian.  Diketahui, Bachtiar malah naik pangkat menjadi Vice President Supply Chain Management (SCM) PT Chevron Pacific Indonesia.

“Saya bingung, apa masuk akal orang lain yang hanya dengan kewenangannya sebagai penegak hukum, bisa lebih paham tentang kinerja saya di Chevron, dibandingkan pimpinan Chevron sendiri? Sudah umum diketahui, Chevron adalah perusahaan yang menerapkan tata kelola perusahaan dengan sistim kontrol internal yang ketat dan berlapis. Pimpinan saya di Chevron memuji kinerja saya, kok orang lain menuding saya korupsi?,” kata Bachtiar lagi.  

Di hadapan hakim dan jaksa Bachtiar menegaskan, setiap langkah taktis pekerjaannya diketahui dan dilaksanakan atas sepengetahuan dan persetujuan atasannya, yakni VP Sumatera Light Operations dan Direktur Eksekutif Operasi Wilayah Sumatera. “Pembersihan lahan dan pemulihan lahan terkontaminasi minyak mentah di lapangan Minas, hanya sebagian kecil dari tugas saya selaku GM SLS. Itu merupakan komitmen perusahaan yang harus dijalankan sesuai mandat UU Lingkungan dan arahan KLH,” urainya.

Atasan Tak Tersentuh

Pada 21 Mei 2013, Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) merilis temuannya setebal 400 halaman, terkait pelanggaran HAM yang dilakukan jaksa dan hakim dalam penanganan kasus bioremediasi Chevron.

Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai mengungkapkan, ada empat aspek pelanggaran HAM yang dialami para terdakwa dalam penanganan kasus bioremediasi. Pertama, terlanggarnya hak untuk mendapatkan kepastian dan perlakuan hukum yang sama. Kedua, terlanggarnya hak untuk tidak ditangkap dan ditahan dengan semena-mena. Ketiga, terlanggarnya hak untuk mendapatkan keadilan melalui proses hukum yang jujur, adil, dan berimbang. Keempat, terlanggarnya hak untuk tidak dipidana karena perjanjian perdata.

Menurut Pigai, salah satu variabel yang mendasari temuan itu, ialah adanya diskriminasi hukum. “Mengapa hanya karyawan kelas bawah yang diseret ke pengadilan. Mereka kan punya atasan, orang-orang asing itu. Mengapa tidak satu pun yang dimintai pertanggungjawaban pidana atas kasus ini? Apa jaksa-jaksa itu takut pada orang asing?,” sergah Pigai, saat dijumpai lagi di Jakarta, Selasa, 18 Juni 2013.   

Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Ahmad Basarah pun menyoroti jungkir baliknya pertanggungjawaban pidana pada kasus bioremediasi ini. Ia menilai, para karyawan Chevron ini dikambingkhitamkan oleh Kejaksaan Agung, atas suatu tindak pidana korporasi. “Saya khawatir lembaga penegak hukum diskrikminatif, sehingga karyawan yang ditangkapi untuk menjadi kambing hitam atau korban,” tukas Basarah dalam Rapat Dengar Pendapat di ruang sidang Komisi III DPR, 4 Juni 2013.

Penasehat hukum karyawan PT Chevron Pacific Indonesia, Maqdir Ismail mengungkapkan, sebenarnya sudah sangat jelas dari keterangan para saksi dan ahli yang disampaikan di muka sidang, para terdakwa baik Widodo, Rumbi, Kukuh, maupun Bachtiar, tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana dalam kasus bioremediasi ini. Selain jabatan dan kewenangannya di Chevron tidak terkait bioremediasi, mereka juga masih mempunyai atasan yang lebih tepat dimintai pertanggungjawaban.

Sampai saat ini, kata Maqdir, atasan Widodo, Rumbi, Kukuh, maupun Bachtiar, hanya dimintai keterangan sebagai saksi oleh jaksa. Padahal mereka yang memberikan perintah kepada bawahannya, yang sekarang duduk di kursi terdakwa. Termasuk Ketua Tim IMS-REM yang bertanggung jawab langsung terhadap proyek bioremediasi, masih aman-aman saja.

“Sempat jaksa menyurati pimpinan IMS-REM yang warga negara Amerika agar datang ke kejaksaan untuk diperiksa, namun dibatalkan sendiri oleh jaksa. Entah alasannya apa?,” ungkap Maqdir di Jakarta, Selasa, 18 Juni 2013. Pigai pun mengaku sudah pernah memanggil para pimpinan Chevron ke Komnas HAM, termasuk pimpinan yang bertanggung jawab langsung terhadap proyek bioremediasi. “Mereka mengaku siap untuk bertanggung jawab, tapi tidak pernah diperiksa oleh jaksa,” tukas Pigai heran.

Hal senada diungkapkan Dony Indrawan. Menurutnya para pimpinan di Chevron, termasuk Presiden Direktur siap untuk hadir, jika dipanggil oleh kejaksaan. Mereka siap untuk menjelaskan kasus itu dan mempertanggungjawabkannya. Namun sampai saat ini tak kunjung dipanggil oleh jaksa. “Kami ingatkan, bioremediasi ini adalah kasus korporasi. Perusahaan yang berkontrak dengan pemerintah. Jangan karyawan tak berdosa yang dijadikan korban,” tandasnya.

Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai.

Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai.

Pidana Dipaksakan

Terkait hal ini, para pakar hukum pidana sudah memberikan keterangannya di pengadilan. Guru Besar Hukum Pidana UGM, Edward Omar Syarif Hiariej salah satunya.  Edward menjelaskan, tiga unsur yang terkait dengan kesalahan. Yaitu kemampuan bertanggung jawab, hubungan antara pelaku dan perbuatan yang dilakukan yang melahirkan suatu kesalahan, serta tidak adanya alasan penghapus pertanggungjawaban pidana. “Jika seseorang dijadikan tersangka sebelum semua unsur ini terpenuhi, maka disebut unfair prejudice atau prasangka yang tidak wajar. Ini harus dihindari,” tandas Edward.

Terkait dugaan tindak pidana dalam kasus bioremediasi, menurut Edward masuk kategori pidana lingkungan. Maka dari itu, yang harus menjadi rujukan adalah UU 32/2009. Ini mengingat sifat kasus bioremediasi yang spesifik, dalam konteks pidana maka ketentuan yang khusus mengesampingkan yang umum. “Jika ada dua UU yang bersifat khusus, maka digunakan fakta yang lebih dominan. Misalnya dalam konteks lingkungan hidup, maka rujukan yang dipilih UU 32/2009,” tandasnya.

Di depan persidangan bioremediasi, Rabu, 29 Mei 2013, pakar hukum dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf juga menerangkan, dalam pidana lingkungan yang diatur UU 32/2009, tidak diatur tentang pidana yang terkait dengan kerugian keuangan negara atau korupsi. Begitu pun dalam UU lingkungan sebelumnya, UU 23/2007. “Saya terlibat dalam penyusunan dua UU itu,” tutur Asep di depan majelis hakim.

Asep juga menerangkan, dalam penanganan dugaan adanya tindak pidana lingkungan, maka peraturan yang wajib dirujuk adalah UU 32/2009. Karena UU 32/2009 merupakan lex specialis terhadap UU lain dalam hal pidana lingkungan. “Jika ada pelanggaran lingkungan, maka UU 32/2009 inilah yang digunakan, tidak butuh dukungan UU lainnya,” tegasnya, seraya menjelaskan, pidana lingkungan yang diatur UU 32/2009, bisa menjerat pelaku maupun pemerintah.

Dalam UU 32/2009, kata Asep, dijelaskan pula bahwa yang diberi tugas oleh UU untuk menjadi penegak hukum pada pidana lingkungan, adalah penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang harus berkoordinasi dengan KLH. “Jika dalam menangani perkara pidana lingkungan penegak hukum tidak koordinasi dengan KLH, berarti telah terjadi pengabaian terhadap UU 32/2009,” tandasnya.

Dalam UU 32/2009, kata Asep, juga disebutkan bahwa jika ada laporan masyarakat ke penyidik (Polri atau Kejaksaan) mengenai dugaan pidana lingkungan, maka penyidik harus berkoordinasi ke KLH, untuk kemudian KLH menugaskan PPNS-nya melakukan tindakan penegakan hukum. Dasar hukumnya tercantum dalam Pasal 63 UU 32/2009, yang menyebutkan bahwa pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dilakukan oleh pemerintah, yang secara spesifik dalam Pasal 64 UU 32/2009 diamanatkan ke KLH.

Herannya, dalam kasus bioremediasi Chevron ini, Kejaksaan Agung sama sekali tidak berkoordinasi dengan KLH, sebelum menetapkan tersangka. Bahkan kendati pejabat KLH, Masnellyarti Hilman yang dihadirkan ke persidangan untuk memberikan keterangan ahli, mengatakan Chevron sudah patuh dan tidak ada peraturan perundang-undangan yang dilanggar, majelis hakim tetap memvonis bersalah dua kontraktor Chevron. Jaksa pun tetap menggiring para karyawan Chevron ke kursi terdakwa.

Dari kiri ke kanan: Widodo, Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, Ricksy Prematuri, dan Herlan bin Ompo, para terdakwa kasus bioremediasi saat melaporkan diskriminasi hukum yang menimpa mereka ke Komnas HAM.

Dari kiri ke kanan: Widodo, Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, Ricksy Prematuri, dan Herlan bin Ompo, para terdakwa kasus bioremediasi saat melaporkan diskriminasi hukum yang menimpa mereka ke Komnas HAM.

Motif Uang dan Popularitas

Sebelumnya, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) DR Mudzakkir, SH MH menyatakan, kasus bioremediasi Chevron itu tidak bisa disebut kasus pidana korupsi. Pasalnya, sumber dugaan pelanggaran yang dijadikan dasar tuduhan korupsi, adalah perbuatan dalam konteks pelaksanaan Production Sharing Contract (PSC) migas yang masih dalam lingkup hukum administrasi atau perdata.

Menurut Mudzakkir, ada empat tingkat pelanggaran hukum administrasi atau perdata bisa masuk ke ranah pidana. Pertama, melanggar namun mempunyai itikad baik. Kedua, melanggar dengan tidak ada itikad baik. Ketiga, melanggar dengan itikad buruk. Dan keempat, melanggar dengan itikad buruk yang kriminal. “Satu sampai tiga, masih masuk ranah administrasi atau perdata. Keempat yang baru bisa dipidana,” terangnya.

Selain itu, kasus bioremediasi Chevron itu timbul dari hubungan keperdataan, yakni kontrak migas.  Dalam kontrak antara pemerintah dan investor, jika memang ada kerugian negara,  itu baru bisa dihitung apabila kontrak sudah berakhir. “Tidak ada kerugian negara sebelum kontrak antara pemerintah dan Chevron berakhir, karena seandainya ada selisih keuangan masih bisa dikembalikan sesuai kesepakatan para pihak yang berkontrak,” tukas Mudzakkir.

Mudzakkir juga mempersoalkan dakwaan jaksa terkait adanya tindak pidana korupsi, yang didasarkan pada audit BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan). Menurutnya, sesuai UU Tindak Pidana Korupsi, adanya kerugian negara harus didasarkan pada audit investigasi (menyeluruh) lembaga yang berwenang. Satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan audit investigasi terkait kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Saya tegaskan, BPKP tidak berwenang mengaudit kerugian negara,” tandasnya.

Ketua Badan Pengurus “SETARA Institute”, Hendardi mengaku tidak heran dengan jungkir baliknya pertanggungjawaban pidana pada kasus bioremediasi. Kasus ini, ujarnya, sama saja dengan kasus korupsi PT Merpati Nusantara Airlines. Tapi masih mending dalam kasus Merpati yang dijerat pucuk pimpinannya, Hotasi Nababan. Kasus ini juga ditangani Kejaksaan Agung. Mantan Direktur Utama Merpati itu pun, akhirnya divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor.     

“Belajar dari kasus Hotasi, ada pelanggaran HAM by judicial (melalui jalur hukum, red) yang dilakukan aparat penegak hukum. Jaksa awalnya coba-coba, ini ada duitnya gak? Tapi ketika sampai ditengah dan ternyata tidak ada duitnya, tidak ada pilihan lain bagi jaksa selain meneruskan kasus itu,” ujar Hendardi di Jakarta, Selasa, 18 Juni 2013.

Dalam sebuah diskusi yang digelar Universitas Paramadina, awal Mei 2013, Hotasi Nababan pun mengungkapkan adanya upaya pemerasan oleh oknum tertentu terhadap dirinya, dalam kasus Merpati. Sekarang ia pun menduga, hal yang sama sangat mungkin terjadi dalam kasus bioremediasi Chevron.

Motif lainnya, kata Hendardi, ada aroma kompetisi antara Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Seperti kita tahu, sejak ada KPK pamor Kejaksaan meredup dalam penanganan kasus korupsi,” ungkap mantan Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) ini.

Jadi begitu ada dugaan korupsi, kata Hendardi, apalagi yang menyangkut korporasi, meski bukti-bukti awalnya tidak kuat, maka disambar dan digiring dulu oleh Kejaksaan Agung. Masalah pembuktiannya belakangan dan bisa dicari-cari. “Yang penting statistik tahunan Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus korupsi terus naik, tidak kalah dengan KPK,” urainya.

Terlepas dari apapun motif penegak hukum dibalik kasus ini, tidak berlebihan kalau kemudian Herlan dan Ricksy berpendapat, mereka korban sebuah peradilan sesat. Widodo, Rumbi, Kukuh, dan Bachtiar pun berteriak, “kami korban diskriminasi hukum oleh jaksa”.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)   

Artikel terkait: https://www.dunia-energi.com/jerat-kesumat-ahli-bioremediasi/