JAKARTA – PT Adaro Energy Tbk (ADRO) membukukan volume penjualan batu bara 51,82juta metrik ton sepanjang 2017, empat persen lebih rendah dibanding 2016 yang mencapai 54,09 juta metrik ton. Selain diserap di dalam negeri sebesar 20% dari total penjualan, batu bara Adaro sebagian besar ditujukan ke negara-negara berkembang lainnya di Asia.

“Malaysia menyerap 15% dari penjualan dan menjadi pasar ekspor terbesar Adaro Energy pada 2017. Negara tersebut mempunyai beberap PLTU yang mulai beroperasi pada tahun lalu,” ujar Mahardika Putranto, Head of Corporate Secretary and Investor Relations Division Adaro Energy.

Selain Malaysia, China dan Korea Selatan masing-masing berkontribusi 12% dan 11% dari total volume penjualan batu bara Adaro. Serta disusul Jepang, India dan Hongkong, masing-masing 10%, 8% dan 7%.

Volume penjualan Adaro pada 2017 ditopang dari produksi PT Adaro Indonesia, Balangan Coal Companies dan Adaro MetCoal Companies yang mencapai 51,79 juta metrik ton, lebih rendah dua persen dibanding 2016 sebesar 52,64 juta metrik ton.

Adaro dalam laporannya, Rabu (7/2) menyebutkan, 2017 merupakan tahun yang menggembirakan bagi industri batu bara. Peningkatan kondisi ekonomi di negara-negara maju juga membawa keuntungan bagi negara-negara berkembang dan mendorong peningkatan permintaan terhadap batu bara. Bersama rasionalisasi produksi di China dan kekurangan suplai batu bara global, peningkatan permintaan menopang harga batu bara tetap kuat.

Harga batu bara secara umum tetap tinggi sepanjang 2017, dengan harga batu bara global Newcastle (gCN) rata-rata mencapai US$88 per ton, naik 34% dibanding 2016. Pada kuartal IV 2017, gCN mencatat rata-rata US$98 per ton, naik empat persen dibanding harga rata-rata kuartal III 2017.

Variebel impor China dan India merupakan faktor utama sentimen positif terhadap harga lintas samudra. Disisi lain, rendahnya produksi suplier utama batu bara lintas samudra telah mengakibatkan suplai terus tertinggal oleh pertumbuhan permintaan.

Di Indonesia, konsumsi batu bara domestik tahun lalu lebih rendah dari target, namun tetap meningkat 7%. Konsumsi di negara Asia Tenggara lainnya meningkat seiring dimulainya operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), sehingga impor batu bara meningkat 16%.(AT)