JAKARTA– Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), naik menjadi di atas level US$ 58 per barel,menyentuh level tertinggi dua tahun dalam perdagangan yang tipis, Kamis (23/11) atau Jumat (24/11). Kenaikan harga minyak itu dipicu gangguan pasokan pada jaringan pipa minyak dari Kanada dan penarikan stok bahan bakar menunjuk pada pengetatan pasar, meski terjadi kenaikan output dari produsen Amerika.

Harga minyak mentah WTI untuk pengiriman Januari naik US$54 sen atau 0,9% ke level US$58,56 per barel pada pukul 12.59 waktu New York, saat perdagangan dihentikan, menyusul libur Thanksgiving di AS.

Sementara itu, minyak mentah Brent–patokan internasional–menetap di level US$63,55 per barel, atau US$23 sen di atas penutupan sebelumnya.

Seperti dilansir Bloomberg, TransCanada Corp dikabarkan telah mengurangi 85% pengiriman dari Keystone karena tumpahan minyak minggu lalu di South Dakota.

Michael Loewen, analis komoditas Scotiabank, menjelaskan penutupan tersebut berarti bahwa pasokan minyak sebanyak 550.000 hingga 600.000 barel per hari ke pusat distribusi Cushing, Oklahoma, akan terhenti.

“WTI mendapat sedikit tawaran dari penutupan Keystone tersebut,” kata Loewen dalam sebuah wawancara telepon, seperti dikutip Bloomberg.

Penutupan jaringan pipa Keystone berkapasitas 590.000 barel per hari setelah tumpahan minyak pekan lalu membantu mendorong harga minyak lebih tinggi karena ekspektasi akan mengurangi stok di pusat penyimpanan Cushing, Oklahoma, Amerika.

“Persediaan bakal terkuras dalam beberapa pekan ke depan mengingat timeline yang tidak pasti untuk memulai kembali jaringan pipa Keystone, arteri utama untuk minyak mentah Kanada ke jantung hub Cushing,” kata Martin King, analis GMP FirstEnergy di Calgary.

Harga juga mendapatkan dukungan dari penarikan persediaan bahan bakar komersial di Amerika Serikat.

Stok minyak Amerika turun 1,9 juta barel dalam sepekan hingga 17 November 2017, dan telah menyusut 15% dari rekor tertinggi pada Maret lalu ke bawah level 2016.

Pasar mengabaikan data yang menunjukkan output Amerika meningkat sebesar 15% sejak pertengahan 2016 ke rekor 9,66 juta bph, membantu mengubah negara adikuasa itu dari importir terbesar dunia menjadi eksportir papan atas.

Lonjakan output Amerika mengancam upaya Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), Rusia dan beberapa produsen non- OPEC lainnya untuk mengurangi pasokan global dengan membatasi produksi.

Eugen Weinberg, analis dari Commerzbank, seperti dikutip Reuters, menyebutkan kenaikan 800.000 sampai 1 juta barel per hari lainnya dalam output Amerika pada 2018 menandakan “upaya OPEC untuk memperketat pasar mungkin tidak akan berhasil.”

OPEC, dengan lobi Arab Saudi, bertemu pada 30 November 2017 guna membahas kebijakan perpanjangan pemotongan produksi minyak yang akan berakhir Maret 2018. (DR)