Selisih harga BBM jenis Premium dan Solar dengan Bahan Bakar Khusus (BBK) makin lebar seiring kenaikan harga minyak dunia.

JAKARTA – Kebijakan pemerintah di sektor migas, khususnya dalam tata kelola bisnis bahan bakar minyak (BBM) menyisakan masalah yang berdampak langsung pada PT Pertamina (Persero).

Gigih Prakoso, Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko, mengatakan Pertamina tidak akan bisa berkembang seperti yang ditargetkan pemerintah, bahkan untuk bertahan sekalipun. Apalagi pemerintah menjadikan Pertamina sebagai badan usaha yang harus menjamin ketahanan energi negara.

“Roadmap akan tecapai jika ada dukungan policy pemerintah. Kalau dengan policy seperti sekarang, kami tidak akan bisa survive. Padahal untuk ketahanan energi perlu juga support,” kata Gigih saat ditemui Dunia Energi di Jakarta, Rabu (21/3).

Salah satu kebijakan yang memberikan beban bagi Pertamina adalah  kebijakan harga BBM. Pemerintah menetapkan tidak ada penyesuaian ditengah kenaikan harga minyak dunia yang melebihi asumsi perusahaan.

Di sisi lain tidak ada kompensasi terhadap kebijakan tersebut, padahal dengan kenaikan harga minyak dunia ongkos pengadaan BBM yang harus dikeluarkan dipastikan membengkak.

Pemerintah telah mengusulkan adanya kenaikan subsidi BBM jenis Solar sebesar Rp500 per liter, namun  itu juga tidak bisa menutupi kerugian yang diderita.

Berdasarkan perhitungan Pertamina, jika formula harga dasar dijalankan maka harga BBM jenis Premium penugasan sesuai keekonomian adalah  103,92% HIP bensin RON 88 + Rp830 per liter + 2% harga dasar maka harga dari April hingga Juni 2018 seharusnya dipatok sebesar Rp8.600 per liter. Kenyataannya harga ditahan diposisi Rp6.450 per liter atau selisih 2.150 per liter.

Untuk BBM jenis Solar formula harganya adalah 102,38% HIP minyak solar + Rp900 per liter maka seharusnya harga solar Rp8.350 per liter. Harga real Solar saat ini sebesar Rp5.150 per liter dan itu sudah termasuk pengurangan subsidi Rp500, sehingga selisih masih Rp 3.200 per liter.

Gigih mengungkapkan Pertamina tidak ada masalah dengan penugasan menyalurkan BBM yang dibutuhkan masyarakat, namun harus juga diperhatikan kondisi operasional perusahaan agar bisa tetap tumbuh, guna mendukung kepentingan negara di masa depan.

Jika ingin membantu masyarakat maka polanya subsidi masih tetap bisa diberikan kepada masyarakat.

“Kami sudah punya formula, tapi kebijakan untuk tahan harga menyulitkan. Kami maunya ya subsidi saja. Sekarang kan beda karena Rp500 subsidi kecil sekali. Anggapannya sama saja subsidi tidak ada, kalau dulu kan ada subsidi meskipun di cicil, sekarang kan tidak ada. Itu buat kami sulit kalau bangun kilang,” ungkap Gigih.

Inas Nasrullah, Anggota Komisi VI DPR, mengatakan pemerintah harus bersikap adil, tidak hanya kepada masyarakat tapi juga kepada perusahaan milik negara.

“Jika harus ada penyesuaian, lakukan saja dan berikan informasi yang jelas kepada masyarakat alasan pengambilan kebijakan tersebut,” kata Inas.(RI)