GENAP satu tahun sudah Presiden Joko Widodo mencanangkan program Bahan Bakar Minyak (BBM) Satu Harga secara nasional di seluruh Indonesia. Program yang baru pertama kali dicanangkan sejak Indonesia merdeka 72 tahun lalu ini adalah membuat harga BBM di wilayah pedalaman yang dikenal sebagai wilayah 3T atau tertinggal, terdepan, dan terluar menjadi sama seperti harga BBM di wilayah lain seperti di kota-kota besar.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 36 Tahun 2016,  ada dua jenis varian BBM telah ditetapkan yang harus satu harga secara nasional dan ditugaskan kepada badan usaha untuk mendistribusikan,  yakni jenis BBM khusus penugasan atau Premium yang subsidinya sudah dicabut namun penetapan harganya masih diatur  pemerintah. Saat ini harga Premium dipatok Rp 6.450 per liter.  Serta BBM tertentu atau Solar yang masih mendapatkan subsidi Rp 500 per liter, dan sekarang harganya Rp 5.150 per liter.

PT Pertamina (Persero) pun diinstruksikan langsung oleh Presiden sebagai badan usaha yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan program tersebut melalui pendirian lembaga penyalur BBM resmi secara bertahap di berbagai titik lokasi di tanah air. Tahun ini realisasinya sudah ada 28 dari 54 titik yang ditargetkan, kemudian untuk tahun depan sebanyak 50 titik lokasi dan 2019 sebanyak 46 titik lokasi, sehingga total ada 150 titik.

Kalau merujuk pepatah klasik, mewujudkan cita-cita yang tertunda selama 72 tahun jelas tidak semudah membalikan telapak tangan. Ragam tantangan dan kendala membuat mimpi menuju BBM satu harga menjadi semakin berliku.

Atto Sampebuntu, salah satu pemilik Agen Penyalur Minyak dan Solar (APMS) yang digandeng Pertamina dalam program BBM satu harga di Papua, mengungkapkan kondisi di lapangan berbeda jauh dengan apa yang sudah direncanakan,  baik oleh pemerintah maupun Pertamina bersama dengan APMS.

Tantangan dari sisi teknis tentu menjadi menu wajib yang mau tidak mau harus dihadapi Pertamina dan pihak APMS di lapangan. Seperti diketahui alasan kenapa harga BBM tinggi didaerah 3T adalah karena faktor geografis.

Atto menjelaskan tidak semua wilayah bisa dicapai oleh ragam moda transportasi. Jika melalui darat, kendaraan yang digunakan juga harus  memiliki spesifikasi khusus. Jika darat tidak terjangkau, opsi jalur laut dipilih, itu pun harus mempersiapkan fasilitas yang mumpuni agar kapal bisa bersandar. Opsi terakhir yang dipilih jatuh pada moda transportasi udara.

Untuk transportasi, selain kesiapan fasilitas dasar seperti landasan pacu tentu masih bergantung kepada kondisi cuaca.

“Masalah teknis misalnya BBM sudah habis dan waktu mau pengiriman cuaca jelek jadi tidak bisa kirim tepat waktu,” kata Atto menceritakan pengalamannya dalam distribusi BBM satu harga kepada Dunia-Energi, Minggu (29/10).

Tantangan selanjutnya yang kerap kali makin berat justru ada setelah lembaga penyalur terbentuk, yaitu memastikan keberlanjutan program BBM satu harga.

Atto menceritakan pada awal didirikan lembaga penyalur sering kuwalahan untuk memastikan BBM satu harga sampai ke tangan masyarakat. Apalagi, masyarakat sangat antusias menyambut kedatangan BBM satu harga di wilayah mereka, bahkan tidak jarang stok BBM terlebih dulu habis sebelum jadwal pengiriman.

Hal itu lanjut Atto terjadi di beberapa APMS yang dokelola, yakni di Intan Jaya, Yalimo, Tolikara dan di Puncak.

Koordinasi pun langsung dilakukan dengan Pertamina agar masyarakat tidak menunggu terlalu lama ketersediaan stok BBM. “Awalnya pasokan rata-rata 25 Kiloliter (KL), sekarang rata-rata bisa sampai 40 hingga 50 KL,” ungkap dia.

Antusiasme masyarakat, lanjut Atto, cukup beralasan. Pasalnya, dia merasakan beban cukup berat sebagai masyarakat yang tinggal di wilayah timur Indonesia dan tergolong 3T karena harus merogoh dana lebih untuk bisa membeli BBM.

Tidak tanggung-tanggung harga BBM sebelum adanya program ini bisa naik ratusan kali lipat. “Dulu itu bisa Rp50 ribu,  Rp70 ribu, Rp 80 ribu bahkan bisa sampai diatas Rp 100 ribu per liter,”  kata dia.

Penyebab mahalnya harga BBM tersebut selain karena faktor geografis juga karena adanya campur tangan manusia. Para oknum pengecer memanfaatkan betul kesulitan medan dalam rute pendistribusian BBM sebagai alasan untuk menaikkan harga BBM setinggi-tingginya. Pola ini juga terjadi diberbagai wilayah di tanah air.

Untuk itu berbagai upaya juga dilakukan untuk mencegah kemunculan para pengecer di program ini. Salah satu upaya dengan membanjiri stok BBM di lapangan.

Menurut Atto dengan adanya pasokan berlimpah, kesempatan para pengecer untuk menjual BBM kemungkinan besar tertutup karena nantinya masyarakat akan memilih membeli di lembaga penyalur resmi.

Salah satu yang dilakukan oleh Pertamina untuk bisa memastikan pasokan terus terpenuhi adalah perbaikan rantai distribusi BBM untuk sampai ke tingkat penyalur. Ini juga yang dilakukan di berbagai titik BBM satu harga, salah satunya di wilayah Papua.

Zibali Hisbul, Manager Retail Marketing Operation Region (MOR) VIII Pertamina, mengakui kendala teknis tidak bisa dilepaskan dalam program BBM satu harga. Pertamina sebagai badan usaha milik negara yang diberikan amanat untuk menjalankan tugas itu terus mencari cara untuk bisa meminimalisir potensi kendala yang sering mengintai saat proses distribusi BBM.

Bentuk perbaikan distribusi yang dimaksud Zibali salah satunya dengan menambah armada moda transportasi untuk mengangkut BBM. Dia memaparkan seperti di wilayah Timika yang pada awalnya menggunakan satu pesawat air tractor, kini armadanya ditambah sehingga jika harus ada maintenance atau perawatan pengiriman tidak terkendala dan tetap bisa dilakukan.

Akan tetapi tantangan tidak hanya hadir dari sisi teknis. Dalam perbaikan rantai distribusi Pertamina memiliki tantangan khusus, yakni kebutuhan dana yang cukup besar, terutama yang diperlukan untuk mengangkut dan mendistribusikan BBM.

Biaya angkut yang harus disiapkan memang cukup bervariasi tergantung moda transportasi apa yang dipilih. Jika memilih jalur darat seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, tetap dibutuhkan kendaraan yang memiliki spesifikasi khusus dengan membutuhkan biaya sekitar Rp 2 ribu per liter. Sementara untuk jalur laut biayanya  makin membengkak menjadi Rp 3 ribu sampai Rp 4 ribu per liter.

Kebutuhan dana terbesar untuk biaya angkut adalah tentu penggunaan pesawat terbang. “Kalau air tractor (pesawat) bisa sampai Rp 40 ribu per liter itu biaya angkut saja, itu memang beda-beda kalau daerah lainnya ada Rp 20 ribu,” ungkap Zibaldi.

Beban biaya angkut BBM  sepenuhnya ditanggung Pertamina. Pemerintah meminta Pertamina melakukan subsidi silang untuk membiayai program BBM satu harga. Artinya berbagai beban biaya, termasuk biaya angkut ditanggung dari hasil keuntungan bisnis Pertamina yang lain.

Langkah selanjutnya untuk mendukung ketersediaan pasokan adalah dengan melakukan upgrading atau peningkatan fasilitas penunjang lembaga penyalur.

“Storage di APMS kita minta tambahkan, misalkan drum-drumnya, jadi teknis dilapangan kita perbaiki,” kata dia.

Zibaldi mengungkapkan Pertamina sadar betul bahwa meskipun stok BBM telah dicukupi namun keberlangsungan program BBM satu harga masih berpotensi terancam. Tidak bisa dimungkiri permainan para oknum pengecer yang telah menguasai perdagangan BBM selama bertahun-tahun tidak bisa diberangus begitu saja, mereka masih berusaha mencari celah untuk bisa tetap eksis.

Pihak APMS pun merasa kesulitan melakukan pengawasan. Ini disebabkan terbatasnya jumlah petugas sehingga tidak seimbang dengan jumlah masyarakat di sekitar wilayah APMS.

Keterbatasan pengawasan dari APMS membuat para oknum pengecer memiliki berbagai metode untuk bisa memuluskan bisnisnya.”Orang punya akal juga, padahal sudah dibatasi misal 10 liter, dia keluarkan dari mobil lalu antre lagi,” jelas Atto.

Menurut dia, pembatasan pembelian juga bukan merupakan solusi jangka panjang karena justru bisa berbalik menjadi bomerang bagi para petugas di lapangan karena warga masyarakat merasa BBM satu harga adalah hak mereka. “Mereka bilang itu BBM haknya, makanya kami kasih, tapi yang lain yang tidak kebagian juga bicara,” ujarnya.

Sadar akan kondisi itu,  Pertamina pun terus berkoordinasi dengan pihak aparat baik dari pemerintah daerah maupun aparat keamanan TNI dan Polri untuk bersama-sama mengawasi penyalurannya di masyarakat. Tidak akan mungkin pengawasan dilakukan jika hanya mengandalkan Pertamina atau pengawasan dari pihak APMS.

Zibaldi yakin pengawasan dengan bantuan dari aparat keamanan dan pemda merupakan kunci utama keberlangsungan program BBM satu harga. Tanpa adanya pengawasan, berbagai upaya pencegahan praktek para oknum pengecer akan percuma.

Kondisi yang tergambarkan diatas ternyata juga terjadi diberbagai wilayah lain yang termasuk titik lokasi BBM satu harga.

Henry Achmad, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), mengatakan berbagai upaya sudah dilakukan Pertamina untuk bisa mengimplementasikan BBM satu harga, bahkan tidak jarang Pertamina harus ikut merogoh kocek sendiri untuk meningkatkan margin keuntungan bagi para investor. Jika marginnya sama dengan APMS biasa, tidak akan bisa menutup biaya operasional sehingga ujungnya nanti tidak ada yang mau membangun lembaga penyalur. Penambahan margin dilakukan untuk menarik minat investor.

“Margin awal Rp 150,  orang tidak semangat. Nah untuk itu, di Papua, Pertamina merangsang, yuks anda investasi di sana kami tambahkan marginnya total jadi Rp 700 per liter, kalau investor mau, yang tanggung Pertamina,” kata Henry.

Menurut Henry, sejak digulirkan program ini, BPH Migas sudah memperkirakan potensi berbagai tantangan dan kendala. Apalagi program ini bisa dibilang program besar berskala nasional yang membutuhkan integrasi antarlembaga baik pusat maupun daerah. Berbagai permasalahan sudah teridentifikasi dan akan menjadi modal perbaikan dalam pelaksanaan BBM satu harga selanjutnya.

“Ini jadi pengalaman bahwa perencanaan berikutnya pada 2018, kami akan duduk dengan pemda sebelum menentukan titik ini (BBM satu harga). Kami yakin pemda paham betul dengan kondisi tempatnya,” ujar dia.

Kerja Sama

Achdiat Atmawinata, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), menegaskan meskipun program BBM satu harga adalah program brilian, harus disadari bersama wilayah Indonesia sangat luas,sehingga tidak akan mudah wujudkan cita-cita BBM satu harga secara nasional.

Tantangan tentu menimbulkan beban, dan akar dari semua beban dan permasalahan yang timbul adalah keterbatasan kemampuan pihak yang menjalankan program ini. Bagaimanapun Pertamina tidak hanya didirikan untuk melayani kebutuhan masyarakat akan energi, tapi pemerintah juga yang mengamanatkan Pertamina sebagai perusahaan, untuk bisa berkontribusi terhadap penerimaan negara.

Menurut Achdiat, solusinya  menanggungnya secara bersama. Tidak bisa dibiarkan satu pihak  menanggung seluruh beban tersebut.

“Itulah yang harus dibicarakan bersama, dan harus kita bahas sama-sama dengan seluruh pemangku kepentingan,” kata dia

Pertamina, kata Achdiat,  tidak bisa terus-terusan menanggung beban biaya angkut yang begitu besar untuk mendistribusikan BBM. Pemerintah sebagai pemegang komando harus mengambil pelajaran dari berbagai kendala dalam program BBM satu harga. Kesiapan infrastruktur seperti tangki timbun di daerah-daerah pelosok sebagai keberlanjutan BBM satu harga untuk jangka panjang menjadi suatu keharusan.

“Biaya logistik terlalu besar karena itu harus siapkan solusi dengan secara berkelanjutan membangun infrastruktur pendukung di daerah,” katanya.

Keberlangsungan BBM satu harga secara nasional adalah sebuah keniscayaan yang harus diperjuangkan apapun tantangannya. Namun tetap harus rasional dalam pelaksanaanya sehingga program tersebut bisa terus berlanjut dan diperluas.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menilai perbaikan dalam program ini tidak hanya dilihat dari sisi kesiapan infrastruktur, tapi juga sistem untuk mengimplementasikannya. Mengandalkan Pertamina terus menerus sebagai garda terdepan implementasi program BBM satu harga bukanlah hal bijak. Ide untuk memisahkan pelaksanaan BBM satu harga dari tugas Pertamina sebenarnya bisa dikaji lebih lanjut. Kehadiran lembaga baru misalnya untuk melaksanakan tugas pendistribusian BBM satu harga akan membuat pelaksanaan program menjadi lebih terarah dengan pengawasan langsung dari pemerintah.

Selain itu, menurut Komaidi, bagi Pertamina sebagai perusahaan juga akan lebih fokus menjalankan bisnisnya. Apalagi, sebagai perusahaan negara Pertamina diberikan amanat untuk memberikan pemasukan bagi negara.

“Selama ini Pertamina bagus dalam menjalankan program BBM satu harga, hanya saja beban keuangannya memberatkan. Adanya ide pembentukan lembaga khusus bagus sehingga Pertamina bisa fokus dalam bisnis. Kalaupun tetap Pertamina yang jalankan maka konsekuensi biayanya pemerintah harus tetap menanggung,” kata dia.

Ragam upaya masih bisa dilakukan oleh pemerintah untuk bisa memperbaiki kualitas dari program BBM satu harga sehingga manfaat pemerataan ini bisa dirasakan dengan maksimal oleh seluruh masyarakat.

Kita tentu tidak ingin karena susahnya masyarakat, terutama yang tinggal di wilayah pedalaman ataupun terluar mendapatkan akses BBM, membuat mereka  merasa tidak dianggap. Karena itu, sepatutnya kita menyadari bahwa keadilan serta pemerataan energi harus terus diupayakan. Itulah  kunci dalam menuju cita-cita menuju kesejahteraan bangsa! (RI)