Sidang kasus bioremediasi.

JAKARTA – Kesan adanya pemaksaan untuk menyeret proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia sebagai kasus pidana, semakin nyata terlihat. Salah satu indikasinya adalah terungkapnya fakta bahwa Jaksa Penuntut Umum telah ngawur (tidak taat aturan hukum, red) dalam menetapkan dasar dakwaan.

Dalam dakwaan serta tuntutannya yang dibacakan di depan persidangan kasus bioremediasi, Jumat, 26 April 2013, Jaksa Penuntut Umum yang dipimpin Jaksa Supracoyo, tidak menggunakan aturan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Lingkungan Hidup (LH) Nomor 128 Tahun 2003, sebagai dasar dakwaannya. Jaksa hanya mendasarkan dakwaannya pada keterangan saksi ahli Edison Effendi.

Kepmen LH Nomor 128 Tahun 2003 sendiri menyebutkan, kriteria tanah tercemar adalah yang kandungan Total Petroleum Hydrocarbon (TPH)-nya dibawah 15%. Tanah seperti ini menurut Kepmen LH 128/2003 harus dibersihkan, salah satunya dengan teknologi bioremediasi.

Namun saksi ahli Edison Effendi menyatakan, tanah yang harus dibersihkan hanya yang memiliki TPH sebesar 7,5-15%. Selain pernyataan ini bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, Edison Effendi juga telah terang benderang merupakan saksi ahli yang tidak obyektif. Edison diketahui merupakan pihak yang pernah kalah dalam tender proyek bioremediasi Chevron.   

Menyoal soal perbedaan aturan mengenai TPH yang dipakai jaksa dalam menetapkan dasar dakwaan ini, terdakwa Kukuh Kertasafari yang merupakan karyawan Chevron, mengaku telah melaporkan pelanggaran itu ke Komisi Kejaksaan pada Kamis, 25 April 2013.

“Apa yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum ini telah melanggar Peraturan Jaksa Agung, dan kami telah melaporkan Jaksa Supracoyo kepada Ketua Komisi Kejaksaan, Halius Hosen pada Kamis, 25 April 2013 pekan lalu,” tutur Kukuh Kertasafari di Jakarta, Selasa, 30 April 2013.

Kukuh menilai bahwa Supracoyo telah melanggar Peraturan Jaksa Nomor: PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa, Pasal 3 Huruf a, dimana dikatakan bahwa Jaksa wajib “mentaati kaidah hukum, peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku”.

Kukuh juga menilai Jaksa Supracoyo telah melanggar peraturan kedinasan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Pasal 3 Angka 9, dimana dikatakan bahwa setiap Pegawai Negeri Sipil wajib bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan negara.

Dalam laporannya Kukuh menyatakan bahwa Jaksa Supracoyo tidak cermat dalam penyusunan Surat Dakwaan Kukuh (No. REG. PERK PDS: 18/JKT.SL/12/2012). Dalam surat dakwaan pada halaman 3, huruf a, alinea kedua dan halaman 9, huruf a, alinea kedua di mana tertulis, “Berdasarkan Kepmen LH No. 128 tahun 2003, bahwa konsentrasi minimal tanah tercemar (TPH/Total Petroleum Hidrokarbon) +7.5 – 15% dengan standar hasil bioremediasi ? 1%…”.

Padahal di Kepmen LH No. 128 Tahun 2003 tidak dikatakan “+7.5% – 15%”, namun hanya dikatakan bahwa konsentrasi maksimum TPH awal sebelum proses pengolahan biologis tidak lebih dari 15%.

Proyek Taat Hukum

Berdasarkan dakwaannya yang hanya berdasarkan pada keterangan Edison Effendi dan bertentangan dengan Kepmen LH 128/2003 itu, jaksa pun telah menuntut dua pimpinan perusahaan kontraktor Chevron dalam proyek bioremediasi, yakni Herlan bin Ompo dan Ricksy Prematuri dengan pidana masing-masing 15 tahun dan 12 tahun penjara. Keduanya juga dituntut membayar uang pengganti atas kerugian negara yang dituduhkan hingga jutaan dolar Amerika Serikat.

Dihubungi secara terpisah, Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan membenarkan mengenai laporan Kukuh Kertasafari ke Komisi Kejaksaan. Sebelumnya, kata Dony, para terdakwa kasus bioremediasi juga sudah melapor ke Komisi Kejaksaan, yakni pada desember 2012. Mereka menyoal cara penanganan kasus oleh jaksa selama penyelidikan dan penyidikan, yang dinilai tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Dony pun menegaskan, Chevron terus mendukung upaya para terdakwa kasus bioremediasi melapor ke Komisi Kejaksaan, mengingat kekeliruan yang dibuat jaksa sangat serius. “Masa syarat TPH yang salah dan tidak sesuai dengan Kepmen LH 128/2003 dijadikan dasar tuntutan jaksa atas terjadinya tindakan korupsi yang dituduhkan kepada karyawan dan kontraktor kami,” ujarnya pada Selasa, 30 April 2013.

Kepmen LH 128/2003 mengharuskan tanah yang TPH-nya maksimal 15% dibersihkan. Sedangkan tanah yang dianggap aman bagi lingkungan oleh Kepmen LH 128/2003, adalah yang TPH-nya dibawah 1%. Itu artinya, tanah dengan TPH 1% ke atas harus dibersihkan.

Namun aturan ini tidak dijadikan rujukan oleh jaksa, yang hanya mendasarkan dakwaannya pada keterangan Edison Effendi. Pria yang mengaku ahli bioremediasi dan pernah kalah tender bioremediasi Chevron itu menyatakan, tanah yang harus diberihkan hanyalah yang TPH-nya 7,5% sampai 15%. Atas keterangan Edison itu, jaksa menganggap proyek bioremediasi Chevron fiktif.  

 Meski jaksa penuntut umum terkesan ngawur menetapkan dasar dakwaan, namun Dony mengaku yakin Majelis Hakim akan bertindak obyektif. Menurutnya, saksi-saksi fakta dan saksi ahli dalam persidangan telah menjelaskan tentang keberadaan proyek, kepatuhan atas peraturan, dan hasil nyata dari proyek bioremediasi ini, sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut.

“Kami percaya bahwa penilaian yang obyektif oleh majelis hakim terhadap fakta-fakta proyek bioremediasi ini akan semakin menjelaskan bahwa proyek ini adalah proyek lingkungan yang berhasil dan taat hukum,” ujar Dony.

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)