JAKARTA – Salah satu kunci utama kesuksesan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) diyakini ada pada masalah izin usaha yang harus bisa disederhanakan.

Surya Dharma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan untuk masalah insentif adalah alternatif yang diperlukan untuk mendukung kebijakan harga energi agar mendapatkan nilai keekonomian yang atraktif.

PLTB Sidrap, salah satu pembangkit EBT yang baru dioperasikan secara komersial.

“Izinnya disederhanakan dan diberikan kepastian waktu penyelesaian serta transparan dalan prosesnya,” kata Surya Dharma kepada Dunia Energi, Jumat (6/7).

Menurut dia, insentif tentu akan menjadi salah satu unsur yang diperlukan untuk dapat meningkatkan nilai keekonomian proyek-proyek EBT sehingga memiliki daya tarik yang lebih untuk dapat direalisasikan. Untuk itu, pemerintah tentu saja sangat perlu memberikan insentif bagi para pengembang EBT.

“Saya kira jika ada perusahaan yang antre di bidang ini, maka perlu dijaga untuk dapat merealisasikannya, bukan hanya antre untuk wait and see pada banyak upaya untuk merealisasikan pemanfaatan EBT menjadi kenyataan,” ungkap Surya Dharma.

Dia menambahkan bahwa tanda-tanda kompetisi diantara pengembang dengan banyaknya tawaran investasi yang masuk ke pemerintah, tidak sepenuhnya tepat. Hal ini terlihat dari banyaknya peminat investasi di sektor Waste to Energy, terutama setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2018. PP tersebut mengatur harga energi dan tipping fee yang diberikan untuk mendapatkan keekonomian proyek dari energi sampah. Selain tentu saja kepastian masalah perizinan.

Pada sub sektor energi terbarukan lainnya masih banyak tantangan yang dihadapi untuk mendapatkan keekonomian proyek sesuai dengan harapan. Keekonomian proyek  ditentukan oleh harga energi, proses perizinan, tingkat suku bunga perbankan untuk proyek energi, cost of fund untuk investasi, risiko dari setiap proyek, tingkat kepercayaan pada perusahaan, kemajuan teknologi dan jaminan pengembalian modal yang biasabya dituangkan dalam perjanjian jual beli energi (PPA).

“Sejauh yang kami dapat dari berbagai sumber, pendanaan masih memberikan sinyal bahwa regulasi dan PPA yang ada tidak bankable untuk mendapatkan pendanaan. Itu sebabnya yang kita lihat bahwa banyak proyek yang sudah ada PPA nya selama ini tetali juga tidak mendapatkan financial closing,” ungkap Surya Dharma.

Untuk masalah teknologi, kata dia,  tinggal masalah waktu hingga penurunan harga dan biaya EBT terjadi. Sedangkan masalah lainnya sangat tergantung pada kebijakan pemerintah dalam regulasi yang dikeluarkan.

Karena faktanya, realisasi pemanfaatan EBT masih jauh dari target yang ditetapkan pemerintah dalam RUEN yaitu 45 GW pada tahun 2025, sementara yang sudah terpasang sampai saat ini baru hanya sekitar 9 GW. Masih butuh 36 GW lagi dalan kurun waktu tujuh tahun mendatang. Ini merupakan tantangan besar bagi EBT.

“Kami dari METI juga sudah menyampaikan perlunya memperhatikan beberapa faktor yang diperlukan untuk memberikan daya tarik realisasi pemanfaatan EBT untuk mencapai target sesuai dengan RUEN,” kata Surya Dharma.(RA)