JAKARTA – Belum genap sebulan sejak izin ekspor konsentrat berakhir pada 11 Januari 2017, PT Freeport Indonesia melalui induk usahanya Freeport-McMoRan Inc, mendesak pemerintah mengeluarkan izin baru. Freeport menyebut izin ekspor konsentrat sebagai hak yang telah diatur dalam kontrak karya.

Freeport dalam keterangan resminya, Sabtu (4/2), menyebutkan penundaan izin ekspor konsentrat akan berdampak pada terpangkasnya produksi tembaga sebesar 70 juta pound dan 70 ribu ounce emas setiap bulan. Freeport pada 2017 memproyeksikan produksi tembaga sebanyak 1,3 miliar pound dan emas 2,2 juta ounce.

Jika terus tertunda, Freeport berencana memangkas produksi konsentrat yang sesuai dengan kapasitas produksi PT Smelting, perusahan pengolahan dan pemurnian yang 25 persennya dikuasai Freeport. Smelting yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur tercatat menyerap 40 persen dari total produksi Freeport.

Richard C Adkerson, Chief Executive Officer Freeport-McMoRan, mengatakan Freeport berharap pemerintah Indonesia bisa segera memberikan izin ekspor konsentrat agar kegiatan operasi di Tambang Grasberg tidak terganggu. Pasalnya, jika kegiatan produksi sampai terhenti, akan timbul dampak negatif yang merugikan semua pihak.

“Kami kecewa hal ini belum terselesaikan dan khawatir dengan dampak negatif bagi seluruh stakeholder, terutama untuk tenaga kerja kita dan perekonomian lokal setempat,” ujar Adkerson dalam keterangan resmi Freeport, Sabtu (4/2).
Menurut Adkerson, Freeport telah aktif berkerja sama dengan pemerintah Indonesia agar kegiatan operasi Freeport Indonesia tidak terganggu. Hal ini disebut sebagai keinginan dari semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah Indonesia, tenaga kerja, masyarakat setempat, pemasok lokal dan pemegang saham Freeport.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya menyatakan masih mengevaluasi kelengkapan persyaratan yang dilampirkan Freeport Indonesia untuk merubah status dari perusahaan kontrak karya menjadi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Perubahan status kontrak pertambangan diperlukan agar Freeport bisa memperoleh izin untuk melakukan ekspor konsentrat yang menjadi sumber pendapatan utama perusahaan pengelola tambang Grasberg, Papua tersebut.
Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, mengatakan Freeport hingga saat ini belum mengajukan permohonan izin ekspor konsentrat tembaga. “Saya tidak mau bicara IUPK sementara, karena itu belum. Jadi tidak usah dibicarakan,” tukas dia.
Chappy Hakim, Presiden Direktur Freeport, menegaskan manajemen Freeport membutuhkan stabilitas jangka panjang untuk menjamin investasinya di Indonesia. “Kami mendorong Pemerintah Indonesia agar kami dapat terus beroperasi penuh tanpa gangguan, memberikan jaminan yang diperlukan untuk mendukung program investasi jangka panjang kami, sehingga dampak negatif dapat dihindari,” kata Chappy.
Pemerintah berencana memberikan IUPK sementara bagi Freeport sambil menunggu proses IUPK permanen selesai. Hal itu dilakukan agar operasional Freeport tidak terganggu selama proses perubahan status kontrak.
Ignasius Jonan, Menteri ESDM, mengatakan penerbitan IUPK sementara untuk memberikan rasa keadilan bagi pengusaha tambang. Pasalnya, jika menunggu IUP permanen tuntas, perusahaan tambang harus berhenti beroperasi selama enam bulan.
Seiring regulasi baru yang diterbitkan pada Januari 2017, pemerintah telah melarang perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) mengekspor mineral hasil pengolahan atau konsentrat sejak 11 Januari 2017. Perusahaan KK hanya bisa mengekspor mineral hasil pemurnian yang berasal dari fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).
Namun, apabila perusahaan Kontrak Karya ingin tetap ekspor konsentrat maka harus mengajukan perubahan status menjadi IUPK. Hanya IUPK yang masih diizinkan ekspor konsentrat hingga lima tahun mendatang.

Selain itu pemerintah pun menerapkan syarat bagi perusahaan yang ingin mendapatkan izin ekspor. Persyaratan itu antara lain membangun fasilitas pemurnian (smelter) mineral di dalam negeri. Izin ekspor bisa dicabut pemerintah, jika dalam enam bulan belum ada kemajuan pembangunan smelter minimum 90 persen dari rencana kerja.(AT)