JAKARTA –  Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diminta tidak terlena dan lupa akan regulasi sebagai bahan perundingan yang telah dibuat dalam pembicaraan dengan PT Freeport Indonesia. Sejak perundingan dimulai pada Februari lalu posisi tawar pemerintah terus anjlok yang diakibatkan beberapa kebijakan pemerintah yang terlihat memanjakan perusahaan asal Amerika Serikat tersebut.

“Pemberian izin ekspor konsentrat sementara serta isyarat pemberian perpanjangan masa kontrak 10 tahun yang bisa diperpanjang 2×10 tahun membuat posisi tawar pemerintah terus melemah,” kata Fahmy Radhi pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada dalam diskusi menakar kinerja Kementerian ESDM di Jakarta, Selasa (15/8).

Menurut Fahmy, kondisi saat ini membuat Freeport lebih leluasa dan berani untuk tidak mengindahkan permintaan pemerintah untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter. Serta divestasi saham sebesar 51%. Hal itu memang bisa dilihat dari tidak adanya progress pembangunan smelter sejak Februari.

“Freeport pasti juga tetap akan memaksa penggunaan sistem tax naildown bukan prevailing,” ungkap Fahmy.

Pemerintah dinilai harus mulai bertindak tegas dalam merespon kondisi ini. Karena jika dibiarkan maka jelas-jelas pemerintah telah melanggar UU  Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Apalagi hari ini adalah batas waktu penunjukan tim verifikator independent pembangunan smelter serta evaluasi enam bulan jatuh pada 17 Agustus.

Ini adalah momentum tepat bagi pemerintah untuk unjuk gigi karena jika di evaluasi progres pembangunan smelter belum mencapai 90% dari rencana kerja, maka seharusnya keran ekspor konsentrat segera ditutup atau distop pemerintah.

“Izin eskpor sementara harus dihentikan saat berakhir september 2017. Pemerintah harus berani mengatakan Take It or Leave It kepada Freeport,” tegas Fahmy.

Riza Pratama,  juru bicara Freeport Indonesia,  sebelumnyai menyatakan perusahaan tidak khawatir terkait adanya aturan progress pembangunan smelter harus mencapai 90%, meskipun sampai saat ini tim verifikator belum juga ditunjuk.

Menurut Riza, Freeport masih memegang Kontrak Karya yang dijadikan sebagai dasar hukum ekspor konsentrat. “Dalam Kontrak Karya kami tidak dilarang untuk ekspor,” kata dia.

Selain itu Freeport juga masih mengharapkan perpanjangan sampai 2041. Freeport  baru akan segera melanjutkan dan menyelesaikan pembangunan smelter, setelah mendapatkan izin operasi sampai dengan 2041. Hal ini memang terdengar janggal. Pasalnya pemerintah seringkali berujar pihak Freeport telah sepakat untuk membangun smelter meskipun hanya mendapat perpanjangan kontrak 10 tahun terlebih dulu.

“Sehingga kami dapat melanjutkan investasi tambang bawah tanah sebesar US$ 15 miliar dan pembangunan smelter sebesar US$ 2,3 miliar, serta divestasi 51%,” kata Riza.(RI)