JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menepis anggapan kebijakan baru di sektor mineral merupakan langkah mundur karena membuka izin ekspor tidak hanya konsentrat, namun juga bijih nikel dan bauksit.

Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 memang membuka peluang ekspor bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7 persen (kadar rendah) dan bauksit yang telah dicuci (washed bauxite) dengan kadar A12O3 lebih dari 42 persen yang tidak terserap oleh smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral) di dalam negeri. Padahal izin ekspor mineral mentah telah ditutup pada 11 Januari 2014.

Bambang Gatot Aryono, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, menyebutkan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri hanya mengolah nikel berkadar di atas 1,7 persen dan bauksit dengan kadar A12O3 lebih dari 42 persen. Dengan begitu, nikel kadar rendah dan bauksit berkadar A12O3 di atas 42 persen tidak termanfaatkan.

“Smelter yang ada hanya menyerap high grade, yang low tidak dimanfaatkan. Jadi yang nanti diberi izin ekspor hanya yang low grade,” tegas Bambang di Jakarta, Sabtu (21/1).

Dia menambahkan daripada tidak bernilai, maka nikel dan bauksit dengan kadar rendah lebih baik diekspor dan menghasilkan penerimaan untuk negara. Namun, cita-cita hilirasasi harus tetap tercapai, untuk itu pemerintah memberikan syarat membangun smelter. “Jadi permen mengatur setiap enam bulan izin ekspor dievaluasi,” kata Bambang.

Izin ekspor bijih nikel kadar rendah dan bauksit pun hanya diberikan kepada perusahaan tambang yang telah dan akan membangun smelter. Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) diberi waktu lima tahun untuk menyelesaikan smelter yang dibangun.

Jumlah bijih nikel dan bauksit yang boleh diekspor dibatasi sesuai dengan kapasitas smelter yang dibangun dan jumlah cadangan di wilayah pertambangan. Ekspor kedua jenis mineral mentah itu juga dikenakan bea keluar (BK) sampai 10 persen. Jika perusahaan tambang tak segera melakukan pemurnian, mereka akan sangat terbebani.

“Ekspor itu dikenakan BK, cukup besar, sampai 10 persen. Jadi pengusaha tambang suffer kalau tidak bangun smelter. Dia kena royalti sudah 10 persen, tambah lagi BK 10 persen,” ungkap Bambang.

Kebijakan baru yang dirilis pemerintah memang telah memicu pro dan kontra. Pasca berakhirnya relaksasi ekspor konsentrat (mineral yang sudah diolah tetapi belum sampai tahap pemurnian) per 11 Januari 2017, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, yang diikuti dengan terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 5
Tahun 2017 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017.

Pihak yang kontra yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumberdaya Alam menilai program hilirisasi semakin tidak jelas dengan terbitnya aturan-aturan baru. Karena kebijakan relaksasi atau ekspor bahan mentah dan konsentrat menjadi fokus pemerintah.
Pemerintah seolah lebih memilih menghidupkan industri di luar negeri dengan menyuplai berbagai mineral mentah dan konsentrat dari tanah air, dibanding memikirkan bagaimana industri hilir mineral dalam negeri dapat berkembang dengan baik.

“Ada apa dan mengapa kebijakan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri tidak dapat diimplementasikan? Begitu lemahkah negara ini sehingga tidak mampu menjalankan kebijakan pengolahan dan permunian hasil tambangnya di dalam negeri yang notabene-nya merupakan kewajiban perusahaan pertambangan?” kata Ahmad Redi, Pakar Hukum Pertambangan Universitas Tarumanegara yang tergabung dalam koalisi.

Pemerintah, lanjut dia, tersandera berbagai kepentingan asing yang merongrong kebijakan hilirisasi. Padahal, melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, akan memberikan efek berganda.

Hikmahanto Juwana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan yang berbeda dengan kebijakan yang baru adalah dimasukannya pengawasan pembangunan smelter enam bulan sekali terhadap perusahaan tambang yang melakukan ekspor mineral.

“Tanpa pengawasan itu akan terjadi lagi. Jadi itu konteknya bukan relaksasi, tapi hilirisasi harus dijalankan,” tandasnya.(AT)