JAKARTA – Pemerintah dinilai tidak konsisten dan tegas mendesak PT Freeport Indonesia, anak usaha Freeport-McMoRan Inc masuk ke negosiasi yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
“Setidaknya, kebijakan yang baru dikeluarkan menunjukkan pemerintah lemah dan tidak serius menegakkan aturan yang ada,” kata Rofi Munawar, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Rofi mengaku heran dengan kebijakan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sementara yang dikeluarkan pemerintah untuk memberikan dispensasi kepada Freeport agar tetap dapat melakukan ekspor konsentrat selama delapan bulan hingga 10 Oktober 2017. Padahal, kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan diskriminasi industrial dan catat hukum dalam pelaksanaannya.

“Dalam UU minerba tidak di kenal istilah IUPK sementara, karena hanya mengenal IUPK, KK (Kontrak Karya) dan IUP (Izin Usaha Pertambangan). Atas dasar regulasi apa pemerintah memberikan izin kepada Freeport,” tukas dia.

Rofi menambahkan, sesungguhnya dengan keluarnya kebijakan IUPK sementara maka tidak ada jaminan pasti dari Freeport yang pada akhirnya akan mengikuti seluruh klausul yang diminta dalam negosiasi sebelumnya. Kebijakan tersebut juga dipastikan akan menimbulkan pandangan adanya perbedaan perlakuan atau diskriminasi industrial dari perusahaan yang sejenis seperti Freeport.

Menurut Rofi, IUPK sementara akan memberikan dampak bahwa telah terjadi ketidakpastian hukum dalam industri pertambangan minerba di Indonesia.

Pasca penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 pada Januari lalu, Freeport tidak bisa lagi mengekspor konsentrat. Berdasarkan PP 1/2017, Freeport harus mengubah status KK menjadi IUPK, jika ingin mendapat izin ekspor konsentrat.

“Dengan keluarnya IUPK sementara, sesungguhnya belum ada solusi permanen yang didapatkan dari proses negosisasi antara Freeport dengan pemerintah. Ini lebih terlihat hanya sebagai upaya prematur untuk sekedar meredam gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan kerugian operasional Freeport,” ungkap Rofi.

Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources, mengatakan sesungguhnya proses renegosiasi sudah tertutup bagi Freeport sesuai pasal 169 ayat b proses renegosiasi hanya satu tahun sejak diberlakukan UU Minerba. Status Freeport menjadi rumit dan kompleks karena mereka tidak mempunyai itikad baik terhadap UU minerba dan diperparah sikap tidak konsisten pejabat terkait yang bertanggung jawab disektor minerba.
“Padahal kalau mau jujur dan konsisten terhadap UU Minerba, proses pemberian status IUPK juga tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Minerba,” kata dia.
Menurut Yusri, sebelum perubahan, wilayah Freeport seharusnyabmasuk dalam WPN yang harus disetujui DPR. Setelah persetujuan juga diprioritas untuk BUMN tambang.
Bahkan, lanjut dia, lebih anehnya lagi pemerintah berpikir perubahan status KK ke IUPK pada Freeport sebagai solusi untuk tetap bisa mengekspor konsentrat. Padahal sudah jelas disebut secara tegas pada pasal 102 dan 103 UU Minerba ” pemegang IUP dan IUPK operasi produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan didalam negeri, sehingga semua ketentuan dalam PP Nomor 1 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 5 dan 6 Tahun 2017 tidak boleh bertentangan dengan isi pasal UU Minerba.
Apalagi soal ketentuan pasal 102 dan 103 sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi pada 2012 telah menolak upaya reklasasi mineral untuk bisa tetap di ekspor oleh Amindo dgn alasan ekonomi masyarakat dan menyerap banyak tenaga kerja. Faktanya sejak UU Minerba diberlakukan sudah 32 smelter dibangun oleh pemilik IUP dengan nilai investasi sekitar US$20 miliar.

“Sehingga terkesan pemerintah konsisten untuk tetap tidak konsisten terhadap UU Minerba dalam kasus Freeport. Ini preseden buruk bagi iklim investasi disektor minerba ditanah air , bahwa pemerintahlah yang menggagalkan proses hilirisasi mineral berharga untuk mencipakan efek berganda bagi pertumbuhna ekonomi nasional,” tandas Yusri.(RA)