Bachtiar Abdul Fatah.

Bachtiar Abdul Fatah.

JAKARTA – Sidang pembacaan tuntutan untuk terdakwa kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) Bachtiar Abdul Fatah yang rencananya digelar hari ini, Senin, 30 September 2013 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, ditunda karena istri Ketua Majelis Hakim, Antonius Widijantono sedang sakit.

Sidang pembacaan tuntutan yang rencananya dilaksanakan pukul 10.00 WIB itu, sempat dibuka oleh Hakim Anggota, Anas Mustakim. Namun sidang ditutup kembali karena Ketua Majelis Hakim, Antonius Widijantono berhalangan hadir berhubung istrinya yang sedang sakit. Sidang pembacaan tuntutan untuk Bachtiar akan dilanjutkan pada Rabu, 2 September 2013 lusa, pukul 10.00 WIB.

Bachtiar yang sekarang menjabat Vice President Supply Chain Management PT CPI, didakwa bersalah oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena saat menjabat General Manager (GM) South Light Sumatera (SLS) Minas – Riau pada 24 Agustus 2011, telah menandatangani kontrak bridging bioremediasi nomor C905616, yang menunjuk PT Sumigita Jaya (SGJ) melanjukan pekerjaan teknis bioremediasi.

Kontrak itu oleh JPU dianggap merugikan negara, karena PT SGJ tidak memiliki izin melakukan kegiatan bioremediasi. Meski Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan kontraktor tidak wajib memegang izin, karena yang wajib mengantongi izin adalah PT CPI sebagai pemilik limbah, JPU tetap ngotot Bachtiar bersalah karena saat kontrak C905616 ditandatangani, izin bioremediasi CPI sudah habis dan sedang dalam masa perpanjangan.

Di depan persidangan 23 September 2013 lalu, terdakwa Bachtiar telah menerangkan bahwa ia sama sekali tidak terlibat dalam tender proyek bioremediasi, termasuk untuk kontrak C905616. Ia ikut menandatangani kontrak itu itu karena adanya POA (Power of Authorized) atau kuasa dari Presiden Direktur PT CPI untuk menandatangani perjanjian dengan pihak luar sebagai perwakilan dari perusahaan, yang melekat dalam jabatannya sebagai GM SLS saat itu.   

Terdakwa mengaku, mengetahui statusnya sebagai tersangka pada Maret 2011, dan pada 26 September 2011 ia bersama tiga karyawan CPi lainnya yang dijadikan tersangka kasus bioremediasi, yakni Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, dan Widodo, langsung ditahan tanpa pernah ditunjukkan hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan ahli bioremediasi Kejaksaan Agung (Kejagung) Edison Effendi.

Bachtiar juga mengaku, selama diperiksa sebagai tersangka oleh penyidik Kejagung, tidak pernah diberi tahu soal kerugian negara yang dituduhkan dalam kasus itu. Termasuk tidak pernah ditunjukkan hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menurut JPU, menunjukkan terjadinya kerugian keuangan negara berdasarkan kontrak C905616.  

Ditahan Kembali Tanpa Pembatalan

Setelah sempat ditahan, pada 27 November 2013, Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengeluarkan putusan bahwa penahanan dan status Bachtiar sebagai tersangka tidak sah. Bachtiar pun dibebaskan, dan setelah adanya putusan praperadilan itu ia tidak pernah diperiksa untuk penyidikan ulang.

Namun tiba-tiba, pada awal Mei 2013 ia ditetapkan kembali sebagai tersangka oleh penyidik Kejagung, dan kasusnya dinyatakan P21. Terdakwa sempat mengajukan keberatan atas penetapan itu. Namun pada 17 Mei 2013 ia dijemput paksa dan kembali ditahan, lalu diadili di Pengadilan Tipikor.

Padahal, kata terdakwa Bachtiar, sebelum ditahan ia tidak pernah mendapatkan surat pembatalan putusan praperadilan dari Mahkamah Agung (MA). Itu artinya MA tidak pernah melakukan peninjauan terhadap putusan praperadilan yang membebaskan Bachtiar. Namun Bachtiar tetap dipaksa penyidik menandatangani surat penahanan dan tidak diberi pilihan maupun penjelasan.

Di depan persidangan terdakwa juga telah menjelaskan, dirinya selaku GM SLS tidak ada sangkut pautnya dengan proyek bioremediasi. Karena kualifikasi pengelolaan tanah terkontaminasi merupakan wewenang tim pengadaan, dan ia tidak memiliki wewenang di dalamnya. Ia ikut menandatangani kontrak, semata-mata karena adanya POA dari Presiden Direktur PT CPI.

Terdakwa Bachtiar juga mengaku tidak berwenang dalam pelaksanaan tender barang dan jasa di CPI, kerena kegiatan itu dilakukan tim tersendiri. Sebagai GM SLS ia pun tidak bisa melakukan intervensi. PT CPI pun telah memberikan surat resmi bahwa pelaksanaan program bioremediasi merupakan tanggungan perusahaan sepenuhnya.

Toh demikian, Bachtiar mengaku tidak pernah menyesal mendukung kegiatan bioremediasi, yang telah membuatnya diseret sebagai pesakitan di pengadilan. Karena seperti yang dituturkan para ahli dari KLH, kegiatan bioremediasi PT CPI yang studinya sudah dilakukan sejak 1994, telah mematuhi seluruh praturan perundang-undangan yang ada.

Sejauh ini, seperti yang dituturkan para pakar di persidangan maupun di berbagai forum diskusi,  bioremediasi merupakan teknologi yang paling efektif dan efisien dalam merehabilitasi tanah tercemar limbah minyak. Terbukti, 80% lebih tanah tercemar minyak di wilayah operasi PT CPI, telah berhasil disehatkan kembali. “Bioremediasi, merupakan persembahan kami untuk negara dan demi anak cucu kita,” tandas Bachtiar tegar.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)

Berita terkait:

Hakim Masih Pertanyakan Hubungan Bachtiar Dengan Proyek Bioremediasi : https://www.dunia-energi.com/hakim-masih-pertanyakan-hubungan-bachtiar-dengan-proyek-bioremediasi/