JAKARTA – Upaya pemerintah pusat untuk meningkatkan gairah investasi di sektor energi termasuk pertambangan akan terbuang percuma jika tidak disertai dengan koordinasi dengan pemerintah daerah yang juga memiliki peraturan sendiri.
Yustinus Pratowo, Direktur Eksekutif Center fot Indonesia Taxation Analysis (CITA), mengatakan kondisi sekarang ini setiap pemerintah daerah memiliki otonomi yang memberikan kewenangan lebih luas kepada daerah. Hal ini tentu berpotensi menciptakan ketidakpastian karena ada perbedaan pemahaman dan penafsiran antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
“Perlu dilakukan sosialisasi kepada pemerintah daerah mengenai pentingnya penciptaan kepastian hukum agar investasi meningkat,” kata Yustinus di Jakarta, Rabu (9/5).
Menurut Yustinus, pada dasarnya pelaku usaha akan mengikuti regulasi yang ada disuatu wilayah, termasuk perpajakan. Asalkan bernilai wajar stabil dan dapat diprediksi dalam jangka panjang.
Dalam data yang dirilis Fraser Institute, peringkat Indonesia dari sisi inkonsistensi dan tumpang tindih regulasi termasuk yang paling rendah. Bahkan kondisi tanah air dinilai paling buruk ketimbang negara-negara lain yang sedang diambang ketidakpastikan kondisi politik dan keamanan seperti Venezuela, Libya dan Irak.
Kondisi ini harus segera diperbaiki. Pasalnya investasi sampai saat ini dan masa yang akan datang masih akan menjadi tumpuan dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Disisi lain nilai investasi juga berbanding lurus dengan kepastian hukum serta stabilitas politik.
“Harus ada peningkatan kompetensi aparatur daerah agar memiliki pemahaman yang tepat mengenai pemungutan pajak daerah,” ujarnya.
Robert Na Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD) mengakui adanya permasalahan penerapan regulasi di tingkat daerah dengan berjalannya otonomi.
Dalam kajian KPPOD dari 15.146 peraturan daerah dikaji setidaknya 5.560 peraturan dan didapatkan setidaknya ada 547 peraturan daerah yang bermasalah.
Ia mengapresiasi upaya kementerian terkait misalnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam meningkatkan gairah investasi melalui deregulasi. Namun efeknya tidak akan terasa selama peraturan daerah seperti retribusi misalkan tetap menjadi beban pelaku usaha.
“Pungutan tidak hilang,perizinan (pusat) memang hilang. Satu sisi ada deregulasi tapi basis pembinaan retribusi masih berlaku,” kata Robert.
Budi Ernawan, Kasubdit Pendatapan Daerah Wilayah III Kementerian Dalam Negeri, mengatakan selama ini pajak dianggap sebagai sumber utama penerimaan daerah. Ia pun mengakui tidak sedikit pemerintah daerah yang tidak sadari bahwa banyaknya regulasi perpajakan justru akan mempengaruhi iklim investasi di wilayahnya.
“Baru-baru sekarang saja disadari, caranya ya sekarang harus disadari melalui berbagai sosialisasi,” tandas Budi.(RI)