CEPU– Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tengah mendekati sedikitnya 10 investor yang saat ini menjadi pemilik wilayah kerja untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi. Taslim Z Yunus, Pengawas Internal SKK Migas, mengatakan investasi di sektor migas masih menjanjikan bagi investor karena dengan harga minyak mentah dunia sekitar US$ 50 per barel masih menjanjikan keuntungan. Apalagi, biaya produksi minyak mentah di Indonesia saat ini relatif rendah.

“Rata-rata biaya produksi (cost production) minyak di Tanah Air hanya US$ 18 per barel, bahkan ada yang lebih rendah seperti lapangan Banyu Urip yang dikelola ExxonMobil yang di bawah US$ 3 per barel karena masih lapangan primer,” ujar Taslim di Cepu, Blora, Jawa Tengah.

Sementara itu, lanjut Taslim, BP Tangguh termasuk kontraktor kontrak kerja sama dengan biaya produksi paling murah saat ini. Hal ini ditopang oleh produksi gas Tangguh di Teluk Bintuni, Papua yang cukup besar. “Biayanya murah dan harga terjangkau. Jadi bisa dikatakan menjadi yang paling efisien saat ini,” katanya.

Menurut Taslim, kegiatan eksplorasi perlu digenjot untuk meningkatkan cadangan minyak yang pada gilirannya akan menambah produksi siap jual (lifting) migas nasional. Apalagi, iklim investasi migas di Indonesia khususnya kegiatan eksplorasi dalam tiga tahun terakhir masih rendah.

“Tahun ini investor migas yang akan mengebor sumur untuk mencari potensi minyak dan gas bumi baru hanya 32 sumur. Padahal, sebelum 2014, setiap tahun setidaknya bisa mencapai 100 sumur atau titik eksplorasi,” ujar dia.

Menurut Taslim, salah satu penyebab kurang berminatnya investor dalam kegiatan eksplorasi karena harga minyak mentah dunia yang rendah dalam beberapa tahun terakhir. Dengan demikian, dalam kondisi seperti ini hanya investor yang punya modal besar dan memiliki laba ditahan yang besar yang mampu melakukan eksplorasi.

Taslim mengatakan, SKK migas bersama Kementerian ESDMtelah melakukan sejumlah upaya agar kegiatan eksplorasi bisa ditingkatkan, salah satunya melalui pemberian intensif dengan mendekati para investor potensial secara personal agar mereka meningkatkan aktivitas eksplorasi.

“Stagnan dan cenderung lemahnya harga minyak dunia ternyata tak membuat investasi migas di Indonesia berkurang. Kami menilai margin yang didapat dari investasi migas di Indonesia masih cukup besar,” katanya.

Erwin Maryoto, Vice President Public & Goverment Affairs ExxonMobil Indonesia, menjelaskan biaya produksi migas lapangan Banyu Urip di bawah US$ 3 per barel. Dengan memasukkan depresiasi, biaya produksi sekitar US$ 9 per barel, masih di bawah US$ 10 per barel dan cukup rendah dibandingkan kontraktor kontrak kerja sama migas lain.

Erwin menyebutkan, efisiensi dalam pengelolaan lapangan Banyu Urup karena Exxon menggunakan teknologi dan manajemen yang baik dalam berproduksi sehingga mampu efisien. Efisiensi itu juga ditopang oleh kebijakan manajemen yang mampu memanfaatkan gas bumi yang juga terdapat dalam sumur di Lapangan Banyu Urip untuk memasok pembangkit listrik ternag agas berkapasitas 4X16 megawatt yang mereka bangun.

“Gas bumi yang terangkat bersama minyak kami jadikan bahan bakar untuk pembangkit dan sisanya diinjeksi lagi ke dalam tanah agar menjaga tekanan minyak dalam tanah tetap stabil dalam berproduksi,” jelas dia. (DR)