JAKARTA – Rencana PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS), emiten dan juga badan usaha milik negara di sektor distribusi dan infrastruktur gas, untuk membangun jaringan pipa gas dengan biaya investasi US$ 25 miliar dinilai tidak akan berdampak signifikan, jika tidak diikuti dengan menerapkan kebijakan open access terhadap fasilitas tersebut.

“Open acces merupakan kebijakan yang tepat untuk mendorong efisiensi dalam distribusi gas sehingga pada akhirnya harga gas ke konsumen akan lebih murah,” ujar Achmad Widjaja Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Hulu dan Petrokimia.

Pemerintah sebenarnya telah memerintahkan Perusahaan Gas Negara atau PGN untuk menerapkan open access terhadap infrastruktur pipa yang dimiliki. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 19 Tahun 2009. Kebijakan itu menyebutkan badan usaha wajib memakai pipa transmisi dan distribusi yang tersedia untuk dapat dimanfaatkan bersama (open access).

Menurut Achmad, sampai saat ini masih ada oknum pemburu rente dalam tubuh PGN yang masih bercokol, sehingga BUMN itu justru tidak berpihak pada kepentingan negara. “Sebab ada investor yang mencari keuntungan bukan membela ekonomi industri,” kata dia.

PGN merupakan salah satu perusahaan negara terbesar di sektor hilir gas yang mengelola jaringan pipa gas bersama dengan PT Pertamina Gas (Pertagas), anak usaha PT Pertamina (Persero). Pemerintah berencana untuk menyatukan PGN ke dalam Pertamina melalui payung induk usaha (holding) BUMN migas.

Hingga 2025, PGN mengalokasi US$ 25 miliar untuk membangun infrastruktur berupa jaringan pipa transmisi sepanjang 25 ribu km. Serta sarana distribusi berbentuk virtual pipeline, di mana suplai gas bisa disediakan secara fleksibel tanpa menggunakan pipa.

Menurut Achmad, kondisi yang ada saat ini pemerintah tidak bisa berbuat banyak dalam kebijakan yang ditempuh PGN karena 43% saham perusahaan itu sudah dikuasai publik melalui Bursa Efek Indonesia.
“Padahal pemerintah masih menguasai mayoritas saham,” tukas dia.

Achmad menambahkan permasalahan gas harus segera dicarikan solusi karena menjadi salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi melalui sektor industri. Kemajuan ekonomi akan terwujud jika ada kemudahan berusaha yang ditopang dari ketersediaan bahan baku industri seperti gas yang terjangkau. “Sampai saat ini industri menantikan harga gas US$6 per MMBTU, karena pertumbuhan ekonomi nasional didorong oleh pertumbuhan industri,” kata Achmad.(RI)