JAKARTA – Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas, pada 19 Juni 2017. Penerbitan regulasi tersebut bertujuan menarik minat investor migas berinvestasi.

Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), mengatakan beberapa pasal pada PP 27/2017 jelas memberikan insentif dan fasilitas pajak untuk membantu keekonomian investasi hulu migas, namun saat ini diperlukan aturan turunan dan perluasan aturan perpajakan hingga dapat diakses di industri hulu migas.

“Saya berharap Kemenkeu segera terbitkan PMK untuk teknis di lapangan supaya tidak terjadi dispute,” kata Yustinus di Jakarta, Rabu (4/4)

Dia menambahkan, industri hulu migas sepatutnya dimasukan ke dalam kategori industri pionir yang membawa teknologi 9 terkini ke Indonesia. Seiring kebutuhan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya hulu migas yang ada di perairan laut dalam, kawasan frontier (umumnya di kawasan Indonesia bagian Timur) atau yang membutuhkan teknologi baru seperti EOR, industri hulu migas jelas merupakan salah satu industri pionir membawa teknologi terkini yang berdampak positif bagi Indonesia.

Menurut Yustinus, jumlah investasi oleh pelaku industri hulu migas yang berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT) dapat ditingkatkan lebih tinggi dengan iklim fiskal yang lebih kondusif, termasuk dibukanya akses bagi pelaku industri hulu migas atas insentif pajak seperti tax allowance (keringanan pajak) dan tax holiday (libur pajak).

“Hal ini berarti adanya perbedaan aksesibilitas atas insentif dan fasilitas pajak. Selain itu aturan tersebut juga masih sulit untuk diterapkan tanpa adanya aturan implementasi seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK),” kata Yustinus.(RA)