JAKARTA – Indonesia adalah negara pertama di dunia yang “memasak” gas bumi menjadi liquified natural gas (LNG). Di mulai dengan pembangunan kilang LNG Arun dilanjutkan kilang Bontang.

“Dunia berdecak kagum melihat Indonesia sebagai negara produsen LNG terbesar di dunia. Dengan itu kita sepertinya terbuai, berhenti berinovasi untuk mengembangkan sejumlah kemanfaatan lain dari LNG dan akhirnya terjebak menjadi seperti penunggu pabrik sampai produksi gas habis seperti yang telah dialami  di kilang Arun,” kata Ibrahim Hasyim, Ketua Umum Alumni Akademi Migas (ILUGAS), kepada Dunia Energi.

kilang tangguh

Dia berharap kehadiran kilang LNG Tangguh, Donggi Senoro dan kelak nanti Masela, dapat lebih berdaya guna. Bukan hanya sebagai penghasil devisa, namun bermanfaat bagi industri petrokimia, perikanan dan lainnya, untuk kebutuhan dalam negeri.

“Inovasi seharusnya terus tumbuh, sebagai dampak dari tekanan semakin membanjirnya pasokan LNG dunia dan tekanan sosial politik lainnya yang menuntut penggunaan gas di dalam negeri. Pergeseran seperti itulah yang sedang terjadi dibanyak negara. Negara produsen tidak lagi sepenuhnya hanya berorientasi ekspor dalam proyek skala besar,” ujar Ibrahim.

Dia menuturkan, dari hasil kunjungan ke Norwegia, negara produsen ini telah memasok 21 persen kebutuhan LNG Eropa. Desakan sosial politik dalam negeri, memaksa pemerintah dengan sangat serius mengembangkan pemakaian LNG dalam negeri, sekalipun jumlah kebutuhan sangat sedikit, hanya 2 persen dari total produksi.

“Regulasi dan kemampuan nasional dikelola untuk mengembangkan infrastruktur mini LNG untuk pemakaian domestik. Segala kemudahan dan keringanan diberikan kepada investor, juga kepada konsumen dalam bentuk keringanan pajak dan lainnya. Hasilnya menakjubkan, jumlah pemakaian dalam negeri tumbuh pesat terutama untuk menjangkau pulau dan lokasi terpencil yang sulit dijangkau pipa,” kata Ibrahim.

Data penjualan dari GasNor, sebuah perusahaan besar penjual gas di Norwegia, menyebutkan bahwa LNG telah dipakai dalam beberapa lini kehidupan. Sebesar 56 persen untuk industri, 34 persen di kapal laut, 7 persen di mobil dan sisanya di gedung dan rumah tangga.

Kapal ferry, menurut Ibrahim, berlomba mengganti dan memakai LNG sebagai bahan bakar, karena dapat menekan biaya sampai 30 persen. Kapal tentara angkatan laut pun sudah mulai memakainya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, pertumbuhan pemakaian LNG dalam skala mini itu, tidak hanya sampai disitu. Dampak ikutannya telah pula menumbuhkan inovasi lain,  yang ditandai dengan lahir dan tumbuhnya industri penunjang mini LNG yang berkemampuan ekspor.

“Ada pabrik mesin yang berbahan bakar gas, ada pabrik pembuat tangki penyimpanan, Truk tangki pengangkut, design dan perakitan kapal tanker mini LNG dan lainnya. Mereka ber inovasi kuat karena melihat mini LNG ini adalah trend dunia. Beberapa negara Eropa, Afrika, Asia dan Amerika Utara sudah mulai mengembangkan mini LNG,” tandas Ibrahim.(RA)