JAKARTA –  Paradigma lama yang lebih cenderung melakukan produksi minyak dan gas dengan biaya berapa pun telah ditinggalkan PT Pertamina (Persero). Kini menciptakan nilai tambah dari semua aset menjadi paradigm Pertamina di sektor hulu. Semua aset hulu diklasifikasikan menjadi aset memiliki dampak nilai terbesar dan aset berdampak nilai terkecil.

“Dari gradasi impact tersebut masing-masing aset harus bisa memberikan value terhadap perusahaan, namun demikian apabila aset tersebut sudah sangat sulit untuk memberikan value maka dilakukan Hibernation atau suspension. Ini  untuk memberikan ruang perbaikan di aset yang masih ada value-nya,” ungkap Bambang Manumayoso, Ketua Tim Tata Kelola (Tranformasi) Upstream Pertamina.

Saat ini, paradigma bisnis model upstream baru Pertamina terus digencarkan. Secara operasional seperti apa misalnya, Improve Performance baik dari sisi Volume maupun Value, Optimasi Investasi (Capex), melakukan action untuk Growth (terutama Business Portfolio), implementasi Operasional Excellent pada setiap High impact Project, Pembenahan berkelanjutan untuk Business process dan people Development.

Efisiensi dan rasionalisasi program juga terus dilakukan, dengan menurunkan cost perbarel. Jika dulu beberapa asset dengan operating cost-nya diatas US$30 per barel, sekarang bisa ditekan dibawah US$20 per barel.

“Rata-rata sudah turun semua. Dari segitu banyak bisa kami turunkan. Jadi biaya-biaya operasioanal dikurangi,” kata dia.

Dirgo D Purbo, analis ketahanan energi dan pengajar pada Lemhanas, mengatakan langkah-langkah strategis yang sudah dan akan dilakukan Pertamina sudah on the right track, antara lain efisiensi, peningkatan cadangan terbukti dan juga kapasitas produksi migas yang dilakukan di dalam negeri.

“Tantangan yang paling mendasar yakni kekuatan modal untuk melakukan eksplorasi karena kegiatan ini selalu berkaitan dengan kalkulasi faktor geopolitik dan geoekonomi pada lokasi sumber energi, terutama yang berada di luar wilayah penuh dengan konflik,” katanya.

Menurut Dirgo, langkah yang bisa dilakukan untuk menjaga energi nasional adalah dengan tidak memecah-mecah satuan unit busines, pemahaman vertical integration dengan menguasai mulai upstream sampai down stream.

Kurtubi, Anggota Komisi VII DPR, mengatakan Pertamina seharusnya bisa melakukan yang lebih baik, bahkan bisa melampaui Petronas, Malaysia dengan terus meningkatkan pendapatan dan nilai asetnya.

“Kondisi ini bukanlah kesalahan Pertamina, tapi UU yang ada di Indonesia yang tidak mendukung. Ini membuat Pertamina sebagai perusahaan negara justru memiliki posisi yang sama dengan KKKS lainnya,” ungkap Kurtubi.

Selain itu, lanjut dia, Pertamina jangan terlalu banyak diganggu oleh berbagai kepentingan. Pertamina juga harus didorong untuk bisa melakukan kegiatan-kegiatan pengeboran dan eksplorasi, baik hulu ataupun pengolahan kilang sesuai keinginan sendiri.

“Lalu paradigma bisnis Pertamina juga saya rasa harus diubah. Pertamina sudah saatnya memiliki aset dan infrastruktur sendiri, misalnya di kilang, lalu kurangi impor. Itu harus dilakukan,” katanya. (RA/AT/DR/HT)