JAKARTA– Industri hulu minyak dan gas bumi nasional saat ini tengah disorot. Selain produksi yang cenderung terus turun lantaran tidak ada penemuan baru dengan cadangan besar (giant discovery), iklim investasi yang masih kalah kompetitif dibandingkan negara lain juga jadi alasan belum optimalnya investor berinvestasi di sektor hulu migas, terutama pada kegiatan eksplorasi. Padahal melalui kegiatan eksplorasi—dengan risiko yang sangat tinggi karena potensi tidak ditemukannya migas juga sangat besar—adalah syarat mutlak (conditio sine qua non) agar produksi migas nasional terus naik.

Ada beberapa proyek hulu yang potensial telah dan akan meningkatkan produksi migas nasional. Apa saja?

Pertama, proyek Jangkrik senilai US$ 3,77 miliar berdasarkan rencana pengembangan atau plan of development (PoD II JKK+JNNE 2013). Proyek ini mulai berproduksi (on stream) pada Mei 2017. Proyek ini dikerjakan oleh Eni Muara Bakau Ltd, perusahaan asal Italia. Kapasitas produksi proyek ini 450/600 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd) dengan 4000 BCPD. Menurut data SKK Migas, saat ini produksi gas rata-rata sampa 31 Oktober 2018 682 mmscfd (high pressure mode) dan kondensat serta BRC sebesar 3.344 BCPD.

Kedua, proyek Jambaran Tiung Biru. Ini adalah proyek besar dengan invesasi awalnya US$ 2,05 miliar. Namun, berdasarkan PoD 2015 nilai investasi menjadi US$ 1,55 miliar. Kapasitas produksi proyek ini 330 mmscfd raw gas dan sales gas 190 mmscfd. Proyek ini diproyeksikan on stream pada kuarta II 20121. Proyek ini dikelola oleh PT Pertamina EP Cepu (PEPC), anak usaha PT Pertamina (Persero) yang juga memiliki hak partisipsi 45% di Blok Cepu sama seperti ExxonMobil Cepu Ltd. Menurut data SKK Migas, kemajuan proyek per 17 November 2018 mencapai 9,56% aktual dan 12,62% interim plan. Kegiatan engineering mencaai 28,47% aktual dan 44,30% plan. Pengadaan mencapai 8,03% versus rencana 9,40. Adapun konstruksi baru 3,31% aktual dari proyeksi 3,13%.

Ketiga, proyek Tangguh Train-3. Proyek ini awalnya senilai US$ 11,13 miliar (PoD 2012) namun berkurang menjadi US$ 8 miliar. Proyek ini dikelola oleh BP Berau Ltd, perusahaan asal Inggris. Kapasitas produksi proyek ini 700 mmscfd berupa LNG 3,8 metrik ton per tahun. Phase 1 diproyeksikan mulai berproduksi pada kuartal II 2020. Menurut data SKK Migas, per 31 Okober 2018, proyek ini memsuki tahap konstruksi dengan kemajuan EPC onshore 67,26% dan EPCI offshore 86,4%.

Keempat, IDD-Indonesia Deepwater Development. Proyek senilai US$ 6,98 miliar (PoD-1 pada 2008). Mulai produksi pada Agustus 2016 sebesar 110 mmscfd dan 3.750 BCPD untuk Bangka dan diproeksikan berproduksi pada kuartal IV 2023 sebesar 700 atau 500 mmscfd dan 20.000 atau 7.000 BCPD untuk lapagan Gendalo. Adapun lapangan Gehem berproduksi pada kuartal IV 2023 sebesar 420 mmscfd dan 22.000 bcpd. Proyek ini dikerjakan oleh Chevron Indonesia Co, perusahaan multinasional asal Amerika Serikat. Berdasarkan data SKK Migas, saat ini produksi 1.393 BCPD dan 64,16 mmscfd (status 26 November 2018). Menurut data SKK Migas, Chevron mengajukan revisi PoD-1 IDD dan PSC Extention tanggal 29 Juni 2018 dan revisi PoD-1 IDD Supplement pada 4 September 2018. Desain kapasias produksi Gendalo 500 mmscfd dan 7.000 BCPD. Desain kapasitas produksi Gehem 420 mmscfd dan 22.000 BCPD.

Kelima, Proyek Abadi. Nilai investasi masih dinegosiasikan antara Inpex Masela Ltd, perusahaan asal Jepang, selaku operator lapangan Abadi di Blok Masela dan SKK Migas. Berdasarkan draf PoD revisi-1 produksi diproyeksikan 1.543 mmscfd atau 9,5 metrik ton per tahun. Sebanyak 150 mmscfd dialirkan melalui pipa gas dan 31.000 STB (kondensat FPSO) dan 3.200 STB (kondensat OLNG). Menurut data SKK Migas, revisi PoD-1 ada kegaitan survei dan Pre-FEDD yang tuntas pada 28 September 2018. Inpex juga sudah mengajukan draf PoD pada 16 November 2018. Di luar itu, Inpex saat ini dalam proses Amdal untuk proyek Abadi. (DR)