Smelter pengolahan bijih tembaga PT Smelting Gresik di Jawa Timur.

JAKARTA – Pemerintah memiliki peluang kuat untuk menang menghadapi PT Freeport Indonesia, jika anak usaha Freeport-McMoRan Inc itu merealisasikan ancamannya untuk membawa kasus izin ekspor konsentrat ke arbitrase.

“Dalam Kontrak Karya (KK) pertambangan yang dipegang Freeport ada kewajiban membangun pabrik bijih apabila berdasarkan penilaian bersama. Pembangunan tersebut memenuhi keekonomian,” ujar Ahmad Redi, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara kepada Dunia Energi, Rabu (22/2).

Menurut Redi, dalam KK juga ada ketentuan dari waktu ke waktu Freeport harus mematuhi perundang-undangan Indonesia. Untuk itu, pemerintah sebaiknya menjelaskan hal tersebut, termasuk juga bahwa pemerintah telah memberikan waktu delapan tahun kepada Freeport. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyebutkan perusahaan pertambangan yang memegang KK harus berubah menjadi perusahaan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Selain itu, Freeport Indonesia juga sudah menyatakan komitmen melalui nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) yang ditandatangani pada Juli 2014 untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurmian (smelter). Smelter rencananya akan dibangun Gresik, Jawa Timur dengan nilai investasi US$2,1 miliar.

“Freeport juga sudah bayar sebagian jaminan kesungguhan. Walau Freeport dapat berdalih bahwa dengan IUPK yang mereka punya, mereka berhak ekspor sesuai volume yang sudah ditetapkan,” kata Redi.

Komitmen untuk membangun smelter pula yang kemudian dijadikan pegangan pemerintah untuk memberikan izin ekspor konsentrat kepada Freeport sepanjang 2016.  Namun hingga izin ekspor berakhir pada 12 Januari 2017 lalu, Freeport tidak kunjung merealisasikan komitmen untuk membangun smelter.

Hal senada juga diungkapkan Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia. Apalagi selama ini pemerintah tidak pernah mengalami kekalahan dalam kasus arbitrase

“Kalau ICSID kan menang terus belakangan ini, seperti kasus Century dan Churchil. Kalau commercial arbitration, menang lawan Newmont saat digugat soal divestasi. Lagian dalam kasus ini (Freeport) posisi pemerintah kuat kok,” kata Hikmahanto.

Richard C. Adkerson, President dan CEO Freeport McMoRan, sebelumnya mengatakan  akan membawa masalah yang dihadapi Freeport di Indonesia ke arbitrase, jika hingga 120 hari ke depan tidak ada kesepakatan dengan pemerintah.

Menurut dia, Freeport tidak dapat melakukan ekspor tanpa mengakhiri kontrak karya yang ditandatangani 1991 silam itu. Kontrak karya tidak dapat diubah sepihak oleh pemerintah Indonesia melalui izin ekspor yang diberikan jika beralih status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

“Dalam surat yang kami sampaikan ada waktu 120 hari di mana pemerintah Indonesia dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Kalau tidak selesai, Freeport punya hak untuk melakukan arbitrase,” kata Adkerson.(RA)