JAKARTA–  Harapan akhirnya tinggal harapan. Keinginan pemerintah untuk memberikan subsidi terhadap pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar Rp 1,3 triliun dalam nota keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017 untuk sementara, kandas di tengah jalan. Itu terjadi karena Badan Anggaran  (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak permohonan tersebut.

Said Abdullah, Wakil Ketua Banggar Said Abdullah, mengatakan pemberian bantuan itu tidak masuk dalam kategori subsidi. Sesuai UU nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi subsidi adalah pemberian bantuan dari pemerintah kepada masyarakat yang tidak mampu. Sedangkan pemberian subsidi dalam konsep EBT yang disusun pemerintah diberikan kepada korporasi, yang sifatnya insentif. “Selama ini mindset subsidi untuk rakyat,” ujarnya.

Atas keputusan Banggar DPR, pemerintah menyepakati untuk tidak memberikan alokasi subsidi bagi pengembangan EBT. Suahasil Nazara,  Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan cum Ketua Panja dari Pemerintah, mengatakan pemerintah akan mencari mekanisme lain pemberian insentif bagi EBT dengan tidak menggunakan termonilogi subsidi lagi. “Ini berarti tidak ada alokasi langsung bagi EBT dalam postur anggaran karena itu harus dikeluarkan,” katanya.

Menurut Suahasil, Kementerian Keuangan akan mencari cara lain agar ada instrumen fiskal yang membantu pengembangan EBT. Secara prinsip pemerintah perlu mendorong pengembangan industri EBT karena menjadi kebijakan startegis pemerintah.

Dalam RAPBN 2017, disiapkan dana Rp 1,3 triliun untuk subsidi energi baru terbarukan (EBT). Dana tersebut dianggarkan untuk menutup selisih antara harga listrik dari EBT dan biaya pokok produksi (BPP) listrik PLN.  Tarif listrik dari EBT memang relatif mahal, perlu subsidi agar PLN dapat membelinya. Untuk listrik dari mikro hidro misalnya, PLN harus membeli dari Independent Power Producer (IPP) dengan harga Rp 1.560-2.080/kWh. Lalu untuk listrik dari tenaga surya, harganya Rp 1.885-3.250/kWh. Sementara rata-rata BPP PLN Rp 1.352/kWh.

Subsidi ini menjadi perdebatan dalam rapat kerja Komisi VII DPR dengan Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Luhut Binsar Padjaitan, pada 6 September 2016. Beberapa anggota Komisi VII DPR berpendapat, subsidi EBT ini sebaiknya ditiadakan saja karena tidak untuk rakyat, melainkan untuk segelintir korporasi. Menurut mereka, meski subsidi diberikan kepada PLN, ujung-ujungnya yang menikmati adalah para pengusaha yang IPP untuk pembangkit listrik dari EBT.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, mengatakan  pihaknya sedang mengkaji model insentif yang bisa diberikan sambil melihat juga penerapan di negara-negara lain. Misalnya di Thailand, Rusia yang mengeluarkan tax holiday khusus untuk EBT. “Ke depan saya maunya begitu supaya tidak usah capek-capek minta subsidi di APBN,” katanya.

Menurut dia prinsip subsidi dan insentif tax holiday sebenarnya sama saja, hanya berbeda proses pemberiannya. Subsidi untuk EBT diambil dari pajak, artinya negara memungut kemudian mengembalikannya lagi. Sedangkan dengan insentif tax holiday, negara sejak awal tidak memungut pajak sehingga tak perlu mengembalikannya lagi. (RA/DR)