JAKARTA – Pengembangan panas bumi di Indonesia hingga saat ini masih banyak menemui kendala. Padahal potensi sumber panas bumi yang dimiliki Indonesia cukup besar, yang lokasinya tersebar sepanjang jalur gunung api aktif (ring of fire) mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara, dan Maluku.

Kendala yang masih menghambat antara lain lokasi potensi panas bumi yang terletak di hutan konservasi, adanya resistensi masyarakat, permasalahan harga, pendanaan dan proses perizinan yang berhubungan dengan bisnis panas bumi.

“Kementerian ESDM dan instansi terkait telah melakukan upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut melalui sejumlah mekanisme,” kata Yunus Saefulhak, Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta Kamis (13/7).

Sumber daya dan cadangan panas bumi di Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia dengan potensi sumberdaya sebesar 11 gigawatt (GW) dan cadangan sebesar 17 GW, dimana sebesar 1,7 GW telah dimanfaatkan untuk energi listrik.

Menurut Yunus, sejumlah mekanisme untuk mengatasi kendala-kendala yang ada, yakni pertama penugasan kepada BUMN dalam rangka pengembangan hulu dan hilir panas bumi berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2014. Kedua, Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE) bagi Investor yang memenuhi persyaratan memiliki kesempatan untuk mendapatkan PSPE, sebagai insentif bagi PSPE tersebut, maka Wilayah Kerja Panas Bumi akan dilelang melalui mekanisme penunjukan langsung.

Ketiga, insentif fiskal dan non fiskal berupa tax allowance dan tax holiday. Keempat, penyederhanaan perizinan melalui Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di BKPM, pemangkasan waktu perizinan dan aplikasi pelayanan publik berbasis online untuk rekomendasi izin tenaga kerja asing, penerbitan sertifikat kelaikan penggunaan peralatan, dan penyampaian laporan berkala WKP.

Kelima, Pengeboran Eksplorasi oleh Pemerintah (Government Drilling) dan Geothermal Fund yaitu pengalokasian dana eksplorasi panas bumi sebesar US$ 300 juta dari APBN.

Keenam, pelelangan WKP di Indonesia Timur, fokus di Indonesia Timur sebagai upaya Pemerintah untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di daerah tersebut khususnya yang memiliki BPP setempat yang lebih tinggi dari BPP Nasional.

Yunus menekankan perlu dipahami bahwa bisnis panas bumi melibatkan biaya pengembangan yang tinggi.

“Untuk pembangunan 50 sampai 100 MW, memerlukan biaya setidaknya US$3 juta-US$4 juta per megawatt. Dengan kata lain biaya pengembangan panas bumi mencapai US$ 150 juta-US$400 juta,” ungkap dia.

Untuk biaya eksplorasi, kata Yunus, dapat menghabiskan 8 sampai 9% dari total biaya proyek, namun demikian hal ini dapat menjadi nilai yang semakin sensitif karena delineasi sumber daya untuk mengkonfirmasi model panas bumi, dimensi reservoir, temperatur bawah permukaan, dan cadangan panas bumi menjadi hard evidence untuk menentukan pengembangan lebih lanjut.

Sehingga, menurut Yunus, dapat digarisbawahi bahwa tahap pengeboran eksplorasi merupakan strategi pengembangan panas bumi yang sangat penting untuk menentukan tahapan pengembangan selanjutnya.

Kedalaman sumur produksi (dalam hal sumur eksplorasi yang berhasil menghasilkan uap) dan kapasitas produksi rata-rata adalah nilai kritis dalam perancangan pembangkit listrik tenaga panas bumi, dan profitabilitas bisnis sangat bergantung pada nilai-nilai ini.

Yunus menjelaskan bahwa meskipun ada beberapa metode untuk memperkirakan temperatur reservoir dari permukaan tanah, namun masih berupa estimasi. Dengan mekanisme PSPE, maka dapat diketahui temperatur sebenarnya pada suatu lapangan dari hasil pengeboran sumur eksplorasi.

Perhitungan temperatur dan luasan reservoir serta nilai keekonomian proyek adalah hal yang oleh pihak swasta dihitung dengan sangat hati-hati untuk dapat diputuskan go or not go dalam pengembangan proyek panas bumi kedepannya.

“Dalam membangun kedaulatan energi, Kementerian ESDM memiliki strategi yaitu penyediaan akses terhadap energi, ketercukupan energi, kemampuan masyarakat dan harga energi yang kompetitif,” tandas Yunus.(RA)