JAKARTA– Harga jual gas di Indonesia dinilai masih mahal dibandingkan sejumlah negara tetangga. Mahalnya harga gas tersebut dinilai sebagai penyebab sulitnya industri di Tanah Air bersaing dengan industri di negara lain. Achmad Widjaja, Ketua Koordinator Industri Gas Kamar Dagang dan Industri (Kadin), mengatakan tingginya harga gas di Indoensia akibat panjangnya mata rantai distribusi, belum memadainya infrastruktur gas, serta mahalnya biaya logistik dan banyaknya pedagang (trader).

“Harga gas di Indonesia jauh lebih mahal dibanding di negara-negara lain,” ujar Achmad di Jakarta.

Dia mencontohkan, di Jepang, Korea Selatan, dan China, harga gas berkisar US$ 4 hingga U$ 4,55 per juta british thermal unit (MMBTU). Sedangkan harga gas di Singapura berkisar US$ 4-US$ 5 per MMBTU dan  Malaysia US$ 4,47 per MMBTU. “Di  Vietnam harga gas  masih tinggi, yaitu sekitar US$ 7,5 per MMBTU,” ujarnya.

 

 

Achmad Widjaja, Ketua Koordinator Industri Gas Kadin

Pemerintah sebelumnya menjanjikan penurunan harga gas. Namun, kalangan industri, termasuk Kadin, menurtu Achmad, meragukan janji pemerintah itu bisa terwujud, meskipun sejatinya penurunan harga gas industri tersebut juga sudah diperkuat melalui Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral No 40 Tahun 2016 tentang Harga Gas Bumi untuk Industri Tertentu yang bertujuan untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing industri nasional.

Pada 1 Januari 2016, Pemerintah Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi sebesar US$ 6 per MMBTU. Ironisnya, sejak lebih dari 1,5 tahun perpres tersebut dirilis, baru delapan perusahaan yang bisa menikmatinya, sedangkan 76 perusahaan lainnya masih membeli gas bumi seharga US$8-US$ 14 per MMBTU. Delapan perusahaan yang menikmati harga gas US$ 6 per MMBTU itu adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri petrokimia, pupuk, dan baja. Perusahaan tersebut adalah PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Kujang Cikampek, PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Petrokimia Gresik, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS), PT Kaltim Parna Industri, dan PT Kaltim Methanol Industri.

“Kami pesimistis kebijakan itu terwujud. Berpulang pada pemerintah, mau memajukan industri atau tidak,” katanya.

Haris Munandar, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian, sebelumnya menjelaskan implementasi penurunan harga gas untuk industri ke level US$ 6 per MMBTU masih menunggu pengesahan draf permen ESDM terbaru. Draf permen tersebut saat ini menanti proses lebih lanjut di Kemenko Kemaritiman.

“Masih ada 76 perusahaan yang masih menunggu kepastian penurunan harga gas, baru bisa direalisasikan setelah draf permen diteken,” katanya.

Haris mengakui permasalah mahalnya harga gas adalah rantai distribusi yang terlalu panjang sehingga harus ada yang diputus untuk menekan harga. “Memang sulit bagi pemerintah memotong biaya dalam distribusi gas,” katanya.

Padahal, menurut Haris, jika harga gas turun, pemerintah mendapatkan timbal balik dari penghasilan pajak akibat bertumbuhnya industri pengguna gas, baik berupa pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) badan, maupun pajak-pajak lainnya.

Meski demikian, kata Haris, perusahaan penyedia gas tetap harus mengurangi margin keuntungan. Untuk penerapan awal, beban biaya distribusi yang dikurangi bisa ditanggung pemerintah terlebih dahulu dengan melihat struktur beban biaya secara keseluruhan.

Muhammad Khayam, Direktur Kimia Hulu Kemenperin, mengatakan permen ESDM yang baru akan lebih efektif menurunkan harga gas karena aturan ini menjangkau hingga hilir dan mengatur toll fee. Dengan begitu, harga gas diharapkan bisa turun US$ 0,5-1 per MMBTU. Berdasarkan data Kemenperin, kebutuhan gas industri tahun ini mencapai 2.70,39 juta kaki kubik per hari (MMSCFD).

“Penentuan toll fee ini lebih efektif karena sebelumnya tidak ada batasan tertentu mengenai biaya distribusi gas. Wacana ini sebenarnya sudah ada sejak 2015,” katanya.

Toll fee untuk industri hilir memang lebih mahal karena posisinya jauh dari sumber gas. Sedangkan biaya distribusi untuk industri hulu biasanya lebih kecil karena dekat dengan sumber gas. (dr)