JAKARTA – Serikat Pekerja (SP) PT Pertamina Gas (Pertagas), anak usaha PT Pertamina (Persero) di sektor jasa gas terintegrasi, secara prinsip mendukung rencana pemerintah membentuk perusahaan induk (holding) BUMN migas dengan memasukkan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS) atau PGN menjadi bagian Pertamina. Apalagi, holding BUMN migas merupakan strategi yang disusun pemerintah untuk mengembangkan bisinis gas nasional dan salah satu tujuan utamanya adalah memberikan energi gas yang merata ke seluruh pelosok Indonesia melalui sinergi bisnis yang efisien dan efektif.

Namun, pembentukan holding BUMN migas mesti memenuhi sedikitnya empat ketentuan. Pertama, percepatan pemberian kuasa saham dwiwarna PGN kepada Pertamina dengan segera diterbitkannya surat kuasa umum (SKU) agar Pertamina memiliki kontrol penuh dalam mengelola PGN. Hal ini sama seperti Pertamina mengelola anak perusahaannya yang lain.

Kedua, mengembalikan Direktorat Gas sebagai fungsi strategis yang akan memimpin Subholding Gas di Pertamina.

Ketiga, segera diisinya seluruh posisi pimpinan Pertamina dan Pertagas. Tugas mengambil keputusan tidak dapat dijalankan oleh pejabat sementara. Pengisian jabatan harus oleh pejabat yang cakap dan menguasai dengan baik bidang migas khususnya gas demi menjamin kelancaran proses holding migas.

Keempat, keputusan aksi korporasi antara Pertagas oleh PGN harus dilakukan secara hati-hati dan tidak perlu dilakukan secara tergesa-gesa. Perlu tindakan penyehatan kinerja keuangan PGN terlebih dahulu, dimana pada masa transisi, integrasi PGN-Pertagas cukup dilakukan melalui sinergi operasi dan niaga tanpa perlu proses transaksional.

“Jika ketiga hal tersebut dilakukan dapat dipastikan holding migas dapat mencapai tujuan utamanya yakni memberikan manfaat sebesar-bersarnya bagi negara dan menjamin ketersediaan energi (gas) yang merata dan ekonomis untuk seluruh lapisan masyarakat di Indonesia,” ujar Nugeraha Djunaedi, Ketua SP Pertagas, dalam keterangan tertulis kepada Dunia-Energi, Senin (21/5) malam.

Menurut Nugeraha, holding merupakan strategi yang disusun pemerintah untuk mengembangkan bisinis gas nasional dan salah satu tujuan utamanya adalah untuk memberikan energi gas yang merata ke seluruh pelosok Indonesia melalui sinergi bisnis yang efisien dan efektif. Dengan misi itulah maka dibentuk Holding Migas dimana PGN masuk menjadi bagian dari Pertamina.

“Seharusnya pengembangan bisnis gas ini menjadi kerjasama intergrasi dari dua badan usaha pemain utama bisnis gas Indonesia,” katanya.

Dia mengatakan, dalam perjalanannya, proses holding migas menjadi suatu kompetisi yang tidak sehat, dimana posisi tawar (bargaining position) salah satu pihak menjadi lebih lemah dibandingkan pihak lainnya. Dalam hal ini Pertamina kehilangan posisi strategis yang mengawal proses holding migas.

“Sejak dimulainya proses holding beberapa aksi korporasi telah melumpuhkan kaki dan tangan Pertamina untuk tetap unggul dalam bisnis gas,” katanya.

Nugerah mencontohkan penerbitan SK No 39/MBU/02/2018 yang menghapuskan Direktorat Gas Pertamina. “Direktorat yang seharusnya berperan sebagai subholding gas yang nantinya akan menjalankan fungsi strategis pengelolaan bisnis gas justru dihapuskan. “Ini menjadi awal keganjilan proses Holding Migas,” katanya.

Indikasi kedua adalah kekosongan posisi Komisaris Utama Pertagas. Sebelumnya posisi Komisaris Utama Pertagas diisi oleh Direktur Gas Pertamina. “Beliau (Yeny Andriyani) telah habis masa jabatan sejak 23 Maret 2018, namun posisi Komisaris Utama Pertagas hingga saat ini tidak kunjung diisi,” katanya .

Ketiga adalah pencopotan Direktur Utama Pertamina Elia Masa Manik sejak 20 April 2018. Nugeraha menilai, pencopotan Elia janggal karena disertai dengan keputusan untuk pengosongan jabatan tersebut. Padahal di saat yang sama, seharusnya Kementrian BUMN dapat langsung menunjuk direktur utama Pertamina yang baru.

“Puncaknya adalah tindakan pencopotan Direktur Utama Pertagas Suko Hartono per 16 Mei 2018. Serupa dengan nasib Direktur Utama Pertamina, tampaknya pucuk pimpinan Pertagas dipandang sebagai posisi yang akan menghambat proses holding migas sehingga melalui RUPS Sirkuler posisi dirut Pertagas dikosongkan entah sampai kapan,” jelas Nugeraha.

Aksi-aksi korporasi tersebut, tambah Nugerah, menjadi sinyal nyata bahwa ada langkah terencana yang bertujuan melemahkan posisi Pertamina dalam proses holding migas. Satu per satu pimpinan puncak Pertamina di bidang gas dihilangkan. “Pada saat Pertamina membutuhkan pimpinan puncaknya untuk mengawal holding, Kementerian BUMN memandang bahwa tugas peran sebesar itu cukup diserahkan kepada pejabat sementara,” katanya.

Saham Dwiwarna

Tidak hanya menghilangkan pimpinan-pimpinan penting di Pertamina, menurut Nugeraha, penyerahan PGN ke Pertamina hanya dijalankan setengah hati. Hingga saat ini, saham dwiwarna PGN milik pemerintah tak kunjung dikuasakan kepada Pertamina dalam bentuk Surat Kuasa (SKU). Dengan demikian pengendalian dan kontrol kebijakan strategis PGN masih di tangan Kementerian BUMN bukan di Pertamina.

Bukti nyatanya adalah pada saat RUPS Luar Biasa PGN pada 26 April 2018 hanya direktur keuangan PGN yang berasal dari perwakilan Pertamina. Bahkan jajaran dewan komisaris PGN pun tidak ada yang diisi dari Pertamina. Padahal, sewajarnya Pertamina mendapatkan porsi di dalam Dewan Komisaris PGN sebagai Pemegang Saham sah.

“Di sini kami mempertanyakan komitmen Pemerintah yang dahulu menyatakan bahwa Pertamina akan menjadi leader dalam Holding Migas. Seharusnya dengan masuknya PGN ke Pertamina, secara otomatis PGN berdiri sama seperti anak perusahaan Pertamina lainnya, bukannya memiliki kekebalan hukum khusus,” jelas Nugeraha.

Dengan kondisi belum lengkapnya pimpinan Pertamina dan belum dimilikinya SKU atas saham dwiwarna PGN, menurut dia, saat ini Pertamina dipaksakan untuk menyelesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya akuisisi anak perusahaan Pertamina yakni Pertagas oleh PGN. Kondisi ini berpotensi mengakibatkan kesalahan dalam pengambilan keputusan yang dapat berdampak pada kerugian negara.

“Sebelum dilakukan proses akuisisi, sebaiknya sinergi bisnis dan infrastruktur dilakukan oleh kedua badan usaha, sebagai contoh pengelolaan PT Nusantara Regas dan Project Duri – Dumai yang dapat dilaksanakan dengan kerjasama antara Pertamina/ Pertagas dan PGN sehingga keputusan transaksi akuisisi terlihat sangat tergesa-gesa, dengan demikian tahap awal akuisisi belum perlu dilakukan” ungkap Nugeraha.

Menurut dia, integrasi dua badan usaha bukanlah suatu aksi korporasi mudah dimana waktu menjadi target utama. Seharusnya, bukan waktu yang menjadi target, namun tindakan yang harus dipersiapkan dan dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian yang diselaraskan dengan tujuan dari holding migas.

Dalam beberapa tahun terakhir industri gas baik transportasi dan niaga gas mengalami penurunan dan dikontrol penuh oleh regulasi sehingga meminimalkan margin dan Internal Rate of Return (IRR). Pada posisi penurunan kondisi bisnis transportasi dan niaga tersebut, performa keuangan Pertagas masih lebih stabil dibandingkan dengan PGN. Faktanya, kinerja laba bersih PGN dalam lima tahun berturutterus merosot. Hal ini mengindikasikan kurang sehatnya kinerja keuangan PGN. Sedangkan Pertagas dalam lima tahun terakhir mampu menjalankan bisnis lebih efisien sehingga dapat menjaga margin tetap stabil.

“Seharusnya yang dilakukan pertama kali adalah evaluasi dan pembenahan kinerja PGN. agar PGN meningkatkan performa keuangannya. Bersamaan dengan itu, dilakukannya sinergi bisnis dan infrastruktur gas antara Pertagas dan PGN. Barulah dari sana kita bisa bersama-sama berangkat menentukan aksi korporasi yang terbaik untuk Pertagas dan PGN,” jelas Nugeraha. (RI/DR)