JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat BUMN akan menggugat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2017 tentang penambahan penyertaan modal negara ke PT Inalum (Persero) sebagai dasar pembentukan Holding BUMN Pertambangan, ke Mahkamah Agung (MA). Ahmad Redi, Salah satu anggota Koalisi sekaligus Pakar hukum sumber daya alam dari Universitas Tarumanagara, mengatakan gugatan tersebut karena PP 47/2017 bertentangan dengan Undang-undang(UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

“PP 47/2017 berpotensi bertentangan dengan UU Keuangan Negara, UU BUMN, UU Minerba karena pertama, holding ini tanpa persetujuan DPR padahal jelas penyertaan modal negara kepada BUMN, dalam hal ini Inalum atas saham negara di PTBA, PT Timah, Antam, harus melalui mekanisme APBN (UU APBN yang disetujui DPR RI),” kata Redi kepada Dunia Energi, Selasa(2/1).

 

Ahmad Redi, pakar hukum sumber daya alam.

Redi menjelaskan alasan kedua, dengan holding BUMN yang menjadikan PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), dan PT Timah Tbk (TINS) bukan Persero (bukan BUMN) sehingga menghilangkan kontrol negara secara langsung baik pengawasan DPR maupun Pemerintah. Pasalnya, yang menjadi BUMN hanya Inalum, sedangkan PTBA, PT Timah, Antam, telah menjadi perusahaan swasta.

Alasan ketiga, lanjut Redi, BUMN (Persero) itu didirikan tidak hanya untuk mencari profit tapi juga untuk public service obligation (kewajiban pelayanan publik) kepada rakyat Indonesia. “Akibat holdingisasi PTBA, Antam, PT Timah, tidak ada PSO lagi,” ujarnya.

Keempat, akibat menjadi swasta, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat masuk ke PTBA, PT Timah, dan karena Antam sudah tidam ada keuangan negara di sana.

Kelima, baik PTBA, PT Timah, dan Antam tidak dapat lagi menikmati kemewahan kebijakan-kebijakan khusus bagi BUMN di bidang pertambangan seperti dalam UU Minerba.

Keenam, secara konstitusional, cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak di sektor tambang tidak dikuasai negara lagi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. “Akhirnya, holdingisasi ini lebih tidak sesuai cita-cita UUD 1945,” kata Redi. (RA)