JAKARTA-PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum (Persero), induk usaha (holding) badan usaha milik negara di sektor pertambangan mineral dan batubara, berencana mengembangkan pabrik pemurnian dan pengolahan atau smelter aluminium di Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara) berkapasitas 500 ribu ton per tahun.

Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama Inalum, mengatakan ada sejumlah alasan proyek smelter aluminiun tersebut dikembangkan di Kaltara.

Pertama, menjalankan amanah Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan melakukan pengolahan hasil tambang.

Kedua, penyebaran dan pemerataan pembangunan, khususnya di daerah dekat perbatasan.
Ketiga, penghematan devisa negara minimal US$ 1,4 miliar dari substitusi impor produksi aluminium maupun produk alumina (SGAR).

Keempat, peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat karena penyerapan tenaga kerja lokal dan nasional, tumbuhnya industir kutan, dan kegiatan ekonomi ikutannya.

Kelima, peningkatan penerimaan negara dan pemerintah daerah.

 

Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama Inalum. (Foto: Dokumentasi Inalum)

Budi mengatakan investasi proyek smelter Kaltara sekitar US$ 2,5 miliar atau setara Rp 35 triliun (kurs Rp 14.000 per dolar AS) untuk kapasitas produksi 500 ribu ton per tahun. Kapasitas produksi smelter aluminium bisa ditingkatkan menjadi 1 juta ton per tahun.

“Total ada sekitar 11.700 orang tenaga kerja yang akan terserap dengan proyeksi comissioning pada 2024,” ujar Budi di Jakarta, baru-baru ini.

Proyek smelter aluminium Kaltara hingga saat ini baru pra-studi kelayakan. Pasalnya, pengembangan smelter tersebut, menurut Budi, membutuhkan pasokan energi yang cukup besar. Karena itu, Inalum memproyeksikan pengembangan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) untuk mengelola smelter aluminium tersebut.

“Industri peleburan aluminium butuh listrik yang kontinu, stabil, dan andal sera murah, yaitu di bawah US$ 2,5 sen per KWH. Selain itu, Inalum berpengalaman dalam operasional PLTA untuk operasional smlelter,” ujarnya.

Inalum memproyeksikan pengembangan PLTA memanfaatkan aliran sungai Kayan di Kaltara. Bila dibangun sendiri, PLTA yang dibutuhkan memiliki kapasitas 850-1.700 megawatt. harga listrik juga jauh lebih murah ketimbang harga listrik dari PLN sebesar US$ 7,49 sen per KwH.

“Dalam pengembangan PLTA, bisa dilakukan oleh Inalum atau bisa juga joint venture, termasuk untuk transmisi. Untuk pengembangan pelabuhan bisa sinergi antar-BUMN,” katanya.

Budi memproyeksikan penyelesaian pra-studi kelayakan smelter, analisis mengenai dampak lingkungan smelter bisa tuntas pada tahun ini sehingga pada 2019 bisa dimulai konstruksii fase satu, yaitu pengembangan PLTA. Setelah itu, pada 2021 dilakukan konstruksi smelter dan pada 2024 COD untuk smelter dan PLTA fase satu. Sementara untuk COD smelter dan PLTA fase dua baru pada 2034 setelah dilakukan konstruksi PLTA dan pengembangan smelter pada 2029.

Inalum didirikan pada 6 Januari 1976 dengan kepemilikan 100% pemerintah Indonesia per 19 Desember 2013. Pada 27 November 2017, Inalum menjadi holding BUMN industri pertambangan yang meliputi PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Timah Tbk (TINS), serta mewakili pemerintah menjadi pemegang 9,64% saham PT Freeport Indonesia.

Saat ini, Inalum memproduksi 260 ribu ton aluminium ingot per tahun. Hingga kuartal I 2018, Inalum mencatatkan laba bersih Rp2,9 triliun, naik dibandingkan periode sama tahun lalu Rp 1,37 triliun. Hal ini ditopang peningkatan pendapatan dari Rp 9,5 triliun pada periode Januari-Maret 2017 menjadi Rp14,8 triliun pada periode sama tahun ini. “Kami memproyeksikan laba bersih tahun ini sekitar Rp 12 triliunan,” kata Budi. (DR)