JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyusun proyeksi kebutuhan dan suplai gas dalam tiga skenario. Skenario I, neraca gas nasional diproyeksikan mengalami surplus  pada 2018-2027.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, mengatakan surplus gas dikarenakan perhitungan proyeksi kebutuhan gas mengacu pada realisasi pemanfaatan gas bumi. Serta tidak diperpanjangnya kontrak-kontrak ekspor gas pipa atau LNG untuk jangka panjang.

Pada skenario II, neraca gas nasional diproyeksikan tetap surplus pada 2018-2024. Kondisi defisit gas diperkirakan dimulai pada 2025-2027.

Kondisi defisit masih merupakan asumsi, lantaran belum mempertimbangkan potensi pasokan gas dari penemuan cadangan baru dan kontrak gas di masa mendatang, seperti Blok Masela dan East Natuna.

Proyeksi kebutuhan gas pada skenario II, menggunakan asumsi pemanfaatan gas dari kontrak eksisting terealisasi 100%. Serta pemanfaatan gas untuk sektor kelistrikan sesuai dengan RUPTL 2018-2027. Selain itu, asumsi pertumbuhan gas bumi sesuai dengan pertumbuhan ekonomi yaitu 5,5% untuk sektor industri retail.

“Pelaksanaan Refinery Development Master Plan (RDMP) sesuai jadwal, pelaksanaan pembangunan pabrik-pabrik baru petrokimia dan pupuk sesuai jadwal,” ujar Arcandra di Jakarta, Senin (1/10).

Pada skenario III, surplus gas diperkirakan akan terjadi pada 2019-2024. Pada 2025-2027, sebagaimana skenario II bahwa terdapat potensi kebutuhan gas lebih besar daripada pasokan. Namun hal tersebut belum mempertimbangkan  potensi pasokan gas dari penemuan cadangan baru dan kontrak gas di masa mendatang seperti Blok Masela dan East Natuna.

Proyeksi kebutuhan gas pada skenario III menggunakan asumsi seperti pemanfaatan gas dari kontrak eksisting terealisasi 100%, pemanfaatan gas untuk sektor kelistrikan sesuai dengan RUPTL 2018-2027, sektor industri retail memanfaatkan gas pada maksimum kapasitas pabrik serta penambahan demand dari pertumbuhan ekonomi dengan asumsi 5,5%; pelaksanaan RDMP sesuai jadwal; pelaksanaan pembangunan pabrik-pabrik baru petrokimia dan pupuk sesuai jadwal.

Pada  2025 kebutuhan gas dalam skenario I surplus gas bisa mencapai 1.488,86 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Sementara untuk skenario II dan III defisit gas mencapai 206,55 MMSCFD dan 1.072,29 MMSCFD.

Pada 2026 surplus gas diproyeksikan mencapai 1050,35 MMSCFD, sementara defisit gas pada skenario II dan III masing-masing diproyeksikan sebesar 673,98 MMSCFD dan 1.572,43 MMSCFD.

Untuk surplus gas pada 2027 diperkirakan mencapai 2.103,42 MMSCFD dalam skenario I. Kemudian untuk skenario II dan III masing-masing mengalami defisit sebesar 442,05 MMSCFD dan 1.374,95 MMSCFD.

Infrastruktur

Menurut Arcandra, faktor kunci untuk bisa memanage kebutuhan dan pasokan gas adalah infrastruktur. Pemerintah sengaja membagi wilayah kebutuhan dan pasokan gas dalam enam regional. Dalam perjalanannya nanti satu region tertentu bisa saja mengalami kekurangan pasokan gas, akan tetapi dengan ketersediaan infrastruktur kebutuhannya bisa dipasok dari region lain, sehingga bisa memperpanjang umur pemenuhan kebutuhan dari dalam negeri.

“Tidak semua region shortage. Yang shortage bisa diatasi, misal 2025 region 3. Sambung pipa antara Gresik-Semarang, maka suplai akan berasal dari Surabaya dan sebagainya. Ini jadi tidak shortage lagi. Shortage atau tidak tergantung apakah kita membangun infrastruktur sesuai rencana atau tidak,” ungkap Arcandra.

Menurut Danny Praditya Direktur Komersil PT Perusahaan Gas Negara Tbk, selain ketersediaan infrastruktur juga harus ada proyeksi pertumbuhan industri yang menggunakan gas.

“Kalau bicara daya saing industri, kan bukan hanya energi. Ada kepastian energi, fiskal dan lain-lain. Kalau kita bangun, tapi tidak ada offtaker-nya bagaimana, kan tidak bisa pakai sendiri juga. Data validity growth-nya berapa, itu musti divalidasi sama sama. Perencanaan lebih holistik,” kata Arcandra.(RI)