JAKARTA- Harga gas di Indonesia yang rata-rata berada di kisaranUS$7,7-US$8 per juta british thermal unit (MMBTU), bahkan ada harga jual gas ke konsumen industri di atas US$10 per MMBTU sulit untuk diturunkan. Pasalnya, harga gas menggunakan formula fix price sehingga susah untuk turun padahal harga minyak saat ini sudah turun jauh. Tingginya harga jual gas ditengarai juga disebabkan ketidakefisienan (inefisiensi) pembangunan infrastruktur dan monopoli terselubung oleh trader gas.

Menurut Hari Karyuliarto, pengamat gas,  harga gas ada dua skema yaitu harga lama dan harga baru. Pada harga lama masih ada yang US$2,5-3/MMBTU karena sudah tidak ada biaya eksplorasi dan hanya operating cost. “Tetapi untuk lapangan yang baru sudah tidak mungkin harga gas bisa sampai ke harga tersebut karena ada ongkos produksi dan eksplorasi,” ujar Hari di Jakarta, Selasa.

Dengan harga minyak saat ini yang terus turun, menurut dia,  harga gas bisa turun ke level US$5/MMBTU. Tetapi kalau harga gas mau diturunkan, porsi pemerintah yang diturunkan karena pelaku usaha tidak mungkin mau menurunkan margin keuntungannya. “Kalau dibilang harga gas saat ini bisa turun hingga US$2-3/MMBTU sebenarnya suatu yang tidak mungkin, kecuali perusahaan yang lapangan sudah  berumur 10 tahun karena tidak ada lagi biaya eksplorasi,” ujar Hari.

Menteri Koordinator  Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli sebelumnya menyatakan banyaknya trader gas yang tak memiliki infrastruktur membuat harga gas bumi di Indonesia menjadi mahal. Para trader ini hanya berperan sebagai broker. Mereka hanya mencari rente dari penjualan gas bumi. Akibatnya rantai pasokan gas menjadi panjang dan harganya mahal, bahkan ada harga gas yang dijual US$12 per MMBTU padahal di luar negeri harga gas US$3-4 per MMBTU.

Rizal mendukung kebijakan Kementerian ESDM yang mewajibkan setiap pemegang izin usaha niaga gas bumi untuk membangun infrastruktur. Dia berpendapat bahwa Peraturan Menteri ESDM ‎Nomor 37 Tahun 2015 tentang Ketentuan dan Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi (Permen ESDM 37/2015) sudah tepat. Beleid tersebut melarang penjualan berlapis, pemegang izin usaha niaga gas (trader) harus menjual langsung ke pengguna sehingga mau tak mau trader harus membangun infrastruktur untuk mengirimkan gas ke pengguna.

Andy Noorsaman Sommeng, Kepala Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas), mengatakan setuju dengan pernyataan Rizal Ramli karena tata kelola niaga gas yang tidak baik. Dia juga sudah mengusulkan agar Permen ESDM No 19 Tahun 2009 soal harga gas ditentukan oleh badan usaha untuk direvisi. “Saya sudah minta agar permen itu diubah oleh Kementerian ESDM cq Ditjen Migas,” ujarnya.

 

Pembenahan di Midstream

Hari mengakui terkait harga gas memang harus ada pembenahan termasuk di midstream seperti pipa dan terminal gas. Selain itu masih ada trader yang tidak punya infrastruktur gas dan hanya mengambil margin. Karena itu dia mendorong pemerintah untuk mengambil sikap tegas dengan mencabut izinnya. “Untuk mendorong ketersediaan infrastruktur gas yang memadai, Pemerintah juga harusnya mewajibkan perusahaan trader untuk menyediakan infrastruktur seperti membangun pipa,” katanya.

Menurut Hari, margin keuntungan para trader US$50-90 sen per MMBTU dengan internal rate of return (IRR) berkisar 11-14% tidak seperti yang selama ini. Pasalnya ada perusahaan yang mengambil IRR hingga 30% padahal di hulu saja IRR hanya 14%. “Selama ini ada trader yang mengambil margin keuntungan besar sekali antara US$3-4 per MMBTU. Mereka membeli dari perusahaan gas US$5/MMBTU dan menjualnya di harga US$9/MMBTU,” ujarnya.

Padahal, menurut catatan, khusus untuk harga gas di Sumatera Utara, PT Pertamina Gas, anak usaha PT Pertamina (Persero) dan Pemerintah justru terpaksa menurunkan harga gas karena menghapus margin dalam struktur pembentukan toll fee dan menurunkan biaya regasifikasi. Di sisi lain, pemerintah juga telah memotong  penerimaan di sisi hulu untuk Pangkalan Susu Field dari semula harganya US$8,24/MMBTU menjadi US$6,24 MMBTU.

Sementara itu, PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS) yang 56% sahamnya dimiliki  pemerintah Indonesia dan 44% sisanya dimiliki oleh  publik (yang mayoritas asing), sejauh ini belum melakukan perubahan banyak di biaya distribusi yang masih tetap US$1,44/MMBTU + Rp750 per meter kubik (belum termasuk surcharge). Penurunan harga sebesar US$0,55 per MMBTU yang diklaim PGN sebelumnya hanya berupa kebijakan penggunaan dua mata uang agar konsumen terhindar dari kerugian kurs.

Selain itu, menurut Hari, terminal gas juga harus lebih efisien. Dia mencontohkan Floating Storage Regasiffication Unit (FSRU) Lampung yang dimiliki PGN yang mahal dibandingkan dengan yang dimiliki oleh PT Nusantara Regas. “Implikasinya landed price ke PLN dan perusahaan petrokimia dan pupuk akan lebih mahal,” katanya.

Hari  juga mendesak pemerintah untuk menertibkan trader sehingga harga yang sampai ke industri benar-benar harga yang sesuai. Apalagi kalau itu dilakukan oleh BUMN yang tidak seluruhnya sahamnya oleh pemerintah. “Harusnya pemerintah lebih bisa mengendalikannya. Penataan di sektor midstream menjadi sangat penting dilakukan sehingga lebih efisien untuk mendapatkan harga yang lebih pas,” katanya.

Terkait dengan harga gas, Hari juga menyarankan untuk jangka pendek seiring  harga minyak yang turun harga gas juga bisa diturunkan tetapi porsi pemerintah yang diturunkan. Pasalnya, industri membutuhkan gas dan juga dalam kondisi ekonomi seperti sekarang diharapkan harga gas juga turun. Namun, penurunan harga gas itu diambil dari porsi pemerintah karena pelaku usaha tentu sulit untuk mengurangi margin mereka.

Untuk jangka panjang pemerintah juga butuh pemasukan dari sektor gas, Hari menyarankan sebaikanya dilakukan perubahan formula harga gas dari formula saat ini yakni fix price menjadi harga yang dihubungkan dengan harga minyak. Harga gas akan naik dan turun dengan mengikuti harga gas. Tetapi pemerintah juga menetapkan harga batas bawah misalkan diangka US$3-4/MMBTU di atasnya mengikuti harga minyak.(LH)