JAKARTA – Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) 2017 dalam laporan yang dirilis pada Oktober lalu melempar Indonesia dari posisi 50 besar negara dengan kemudahan investasi di sektor energi baru terbarukan (EBT).

Fabby Tumiwa, Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform, mengatakan laporan RECAI 2017 menggambarkan penurunan gairah iklim investasi sektor EBT di Indonesia. Padahal pada 2015 dan 2016 Indonesia masih berada di peringkat 38.

Pada 2015-2016, iklim investasi EBT di Indonesia cukup positif. Ada komitmen tinggi dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) dengan adanya porsi EBT hingga 23% dalam proyek 35 ribu megawatt (MW), kemudian regulasinya pun cukup progresif ditandatangani dengan adanya aturan feed in tariff. Namun itu semua berubah dalam beberapa bulan terakhir.

“Karena regulasi tidak mendukung, investasi jadi tidak menarik kita terjebak di cost yang tinggi,” kata Fabby dalam diskusi pengembangan EBT di Kantor BPSDM Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Jumat (3/11).

Menurut Fabby, pengembangan EBT di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pihak swasta sebagai pemilik modal karena itu perbaikan iklim investasi tidak bisa ditinggalkan begitu saja.

Adapun beberapa permasalahan yang kerap dihadapi pelaku usaha di tanah air banyak berkutat dalam masalah regulasi yang dibuat pemerintah. Belum lagi dengan masalah pendanaan dari perbankan yang seret, karena suku bunga yang diajukan terlalu tinggi.

“Sumber pendanaan dari mana-mana biasanya di tanah air 11% tenornya pendek lima tahun lalu. Biaya transaksi tinggi ada biaya lain misalnya asuransi itu diluar pinjaman,” ungkap Fabby.

Fabby mengatakan hal ini harus segera dicarikan solusi. Tidak dipungkiri keikutsertaan swasta atau investor menjadi kunci dalam implementasi EBT.

Dalam target yang disusun pemerintah kapasitas terpasang pembangkit EBT adalah sebesar 45 Gigawatt (GW) pada 2025, sementara realisasi hingga kini masih sebesar 8,8 GW. Ini artinya dalam 10 tahun harus menambah 36 GW.

“Kita bagi rata-rata empat gigawatt setiap tahun. Ini kalau kita konsisten dengan target,” tukas dia.

Untuk biaya dibutuhkan untuk bisa mencapai target bauran energi 23% dari EBT, investasi yang dibutuhkan diperkirakan mencapai US$ 101 miliar sampai 2025.

Menurut Fabby, jika dihitung kemampuan pendanaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) paling tidak hanya sekitar 15% yang bisa terpenuhi. Itu belum dengan tambahan pinjaman.

APBN diperkirakan hanya mampu mengucurkan dana Rp 4 triliun-Rp5 triliun untuk EBT. Itu pun juga tidak terserap karena diberikan lewat mekanisme alokasi khusus. Sehingga paling banyak yang bisa disediakan pemerintah dan BUMN, di luar pinjaman itu kurang dari 15% dari kebutuhan, sementara ditambah dengan pinjaman paling tidak sekitar 45% dari kebutuhan dari PLN dan Pertamina.

“Lalu 55% ini yang ditutupi dari swasta. Jadi kalau kita melihat proyeksi kebutuhan dana, itu tidak lebih dari 45% yang bisa dipenuhi pemerintah dan BUMN dengan adanya pinjaman. Sisanya butuh investasi swasta. Jadi yang penting iklim investasi swasta,” ungkap dia.(RI)