JAKARTA – Energi listrik yang dibangkitkan oleh tenaga matahari atau solar energy, sudah tidak asing lagi di Indonesia. Sayangnya, solar panel sebagai alat penangkap energi dari sinar matahari itu, sebagian besar masih diimpor. Maka dari itu, dipandang perlu Indonesia memiliki industri hulu sendiri di bidang solar energy, guna meningkatkan kemandirian dan daya saing.

Direktur Utama PT Len Industri (Persero) Wahyudin Bagenda mengungkapkan, solar energy telah digunakan di Indonesia di berbagai wilayah dan untuk berbagai keperluan. Diantaranya sebagai sumber listrik rumahtangga atau solar home system, yang sudah diaplikasikan di hampir semua provinsi. Lalu pompa air tenaga surya di Sumatera dan Kalimantan, dan untuk lampu penerangan jalan tenaga surya di Tol Cipularang.

PT PLN (Persero) juga telah mengaplikasikan solar energy pada pusat listrik tenaga surya (PLTS) Grid Connected Tiga Gili, Nusa Tenggara Barat, PLTS Bandara Lampung, dan PLTS Stasiun Kereta Api Slawi, Jawa Tengah. PT Len, yang sebelum menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bernama Lembaga Elektronika Nasional, bahkan telah mengembangkan teknologi solar energy ini sejak 1986.

“Planning Len tahun 2012 ini ialah meningkatkan kapasitas pabrik sel surya menjadi 60 Megawatt (MW) per tahun, terintegrasi dengan pabrik modul surya berkapasitas 30 MW per tahun,” ujar Wahyudin di Jakarta, pertengahan Juli lalu. Ia menambahkan, potensi pengembangan solar energy di Indonesia sendiri, mencapai 175 MW di 2020. Sedangkan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) dicanangkan pengembangan solar energy hingga 80 MW sampai 2020.

Guna mencapai target tersebut, lanjutnya, Indonesia perlu memiliki industri hulu sendiri di bidang solar energy. Dengan memiliki industri hulu sendiri di bidang solar energy, maka Indonesia akan dapat meningkatkan daya saing dan kemandiriannya, dalam pemenuhan energi listrik. Hadirnya industri hulu solar energy di dalam negeri, akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor solar cell (panel surya penangkap tenaga matahari, red).

Manfaat lainnya, kata Wahyudin, hadirnya industri hulu solar energy di dalam negeri, akan menyerap tenaga kerja baru di bidang industri fotovoltaik. Juga membuka peluang terbangunnya industri hulu pengolahan pasir kuarsa atau silikon, dengan adanya kebutuhan terhadap bahan baku solar cell. “Indonesia cukup kaya akan pasir kuarsa yang merupakan bahan baku solar cell. Menurut Pusat Data dan Investarisasi (Pusdatin) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2008, cadangan pasir kuarsa Indonesia mencapai 17,5 miliar ton,” jelasnya.

Terkait teknologi solar energy yang cocok dikembangkan di Indonesia, menurut Wahyudin adalah teknologi berbasis kristalin. Ia merujuk kesimpulan kajian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tahun 2010. Selain ketersediaan bahan baku berupa pasir kuarsa yang berlimpah, di Indonesia saat ini juga sudah berdiri enam industri solar modul berbasis teknologi polycrystaline. “Teknologi polycrystalline ini secara sistem lebih efisien dibandingkan teknologi Thin Film. Secara global market share-nya juga mencapai 70%, dan kemampuan sumber daya manusia kita mendukung,” tukasnya.

Guna mewujudkan cita-cita tersebut, Wahyudin mengaku PT Len siap bekerjasama dengan BUMN lain, dalam membangun kemandirian industri dan teknologi bidang solar energy di Indonesia, menuju skala keekonomian. Misalnya dengan BUMN pertambangan untuk pengolahan metalurgi pasir silika (dengan bahan baku pasir kuarsa, red). Juga dengan BUMN bidang infrastruktur dalam pengadaan Independen Power Producer (IPP), dan BUMN energi selaku pengguna produk industri solar energy.