JAKARTA – PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di sektor energi minyak dan gas (migas), memproyeksikan impor minyak mentah (oil crude) 2017 naik 15,96% menjadi 155,39 juta barel dibanding tahun lalu sebesar 134 juta barel.

Daniel S Purba, Senior Vice President Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina, mengatakan kenaikan volume impor dipicu konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang terus meningkat di dalam negeri. “Kapasitas kilang Indonesia masih kurang, sehingga impor masih dilakukan,” ujar Daniel di Jakarta.

Saat ini kapasitas kilang nasional baru 1,16 juta barel per hari (bph). Adapun minyak mentah yang diolah di dalam negeri tahun ini ditargetkan sebesar 181,35 juta barel.

Menurut Daniel, tahun ini impor minyak mentah paling banyak berasal dari Asia atau Asian Crude sebanyak 60 juta barel, disusul Arabian Crude 39 juta barel, Mediteranian Crude 32 juta barel, dan African Crude 19 juta barel.

Minyak mentah dari domestik dan luar negeri tersebut diolah diolah menjadi premium sebanyak 51,78 juta barel, pertamax 35,95 juta barel, pertalite 2,53 juta barel, solar 141,18 juta barel, avtur 22,13 juta barel, dan LPG 1,13 juta metrik ton.
“Semuanya masuk kilang Pertamina dan kita proses. Kalau ada crude yang tidak bisa masuk kilang terpaksa dijual,” kata Daniel.
Sepanjang tahun lalu Pertamina mencatat impor BBM jenis premium (RON 88) sebesar 73,4 juta barel atau turun 25% dibanding 2015. Sementara itu, impor pertamax (RON 92) melonjak dari 8 juta barel pada 2015 menjadi 12 juta barel pada 2016.
Daniel mengatakan peningkatan impor pertamax karena lonjakan konsumsi yang mencapai hampir tiga kali lipat. Sementara, impor mogas (motor gasoline) 88 turun sebesar 28 juta barel pada 2016, karena secara keseluruhan kilang Trans Pacific Petroleum Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur dan Residual Fluid Catalytic Cracker (RFCC) Cilacap, Jawa Tengah, sudah beroperasi.
Daniel memprediksi pada 2017 konsumsi pertamax akan meningkat sehingga butuh impor besar. “Pertamax diproyeksikan impornya naik 11 juta barel dan premium turun 11 juta barel, jadi balance,” tukas dia.
Berdasarkan data ISC, impor premium diprediksi turun pada 2017 menjadi 62 juta barel dari 2016 sebesar 73,4 juta barel. Sementara impor pertamax diprediksi naik menjadi 36 juta barel dari 25 juta barel.
Pertamina memprediksi kenaikan impor LPG pada 2017 sebesar 4,95 juta ton, naik dari impor di 2016 sebesar 4,4 juta ton. Sementara impor pada 2014 sebesar 4,18 juta ton.
“Impor yang meningkat karena konversi minyak tanah ke gas sudah semakin meluas, kemudian memang karena demand dari elpiji ini juga terus meningkat,” ungkap Daniel.
Tahun ini Pertamina juga menargetkan bisa melakukan efisiensi hingga US$ 100 juta. Penghematan itu diperoleh dari pengadaan minyak dan produk minyak melalui ISC dengan didorong peningkatan produksi BBM dalam negeri.
Daniel menjelaskan penghematan tersebut berasal dari kegiatan pembelian minyak yang lebih transparan. Hal ini karena Pertamina sudah tidak lagi mengandalkan Pertamina Energy Trading Limited atau Petral untuk mengimpor BBM.
“Pada 2015-2016, penghematan bisa sampai US$ 523 juta, karena sudah ada efisiensi dan sebagainya di tahun-tahun sebelumnya. Jadi, pada 2017 kita targetkan bisa (hemat) US$ 100 juta,” kata Daniel.
Pertamina juga akan tetap melanjutkan efisiensi yang ada, terutama dengan pengolahan minyak mentah di fasilitas blending sendiri di dalam dan luar negeri.
Setelah menjalankan mekanisme Crude Processing Deal (CPD) untuk Basrah Crude di Irak, kerja sama di kilang milik SIETO (Shell International Eastern Trading Company), perseroan juga berhasil menekan impor BBM terutama premium.

Daniel mengatakan untuk pengolahan dalam negeri akan dilakukan penambahan kapasitas di Terminal Tanjung Uban, Bintan. Perseroan akan mengimpor komponen blending, yaitu nafta dan HOMC (High Octane Motor gasoline Component) untuk memproduksi premium.

“Kita targetkan bisa produksi 1,5 juta barel per bulan, sehingga bisa mengurangi pembelian produk jadi dari pasar. Mudah-mudahan kalau keekonomiannya masuk, bisa dieksekusi semester 2 tahun ini,” kata Daniel.

Lebih lanjut Daniel menjelaskan, efisiensi dilakukan dengan tiga cara, yaitu value created seperti dengan blending sendiri, efisiensi-efisiensi, dan juga inisiatif strategis dengan mencari sumber minyak yang lebih luas.(RA)