JAKARTA – Upaya PT Pertamina (Persero) untuk menekan impor dengan membeli minyak mentah dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang beroperasi di Indonesia masih terganjal Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 107 Tahun 2015 terkait pengenaan pajak penghasilan penjualan minyak.

Daniel S Purba, Senior Vice President Integrated Supply (ISC),  Pertamina, mengatakan aturan yang ada saat ini membuat para trading arm yang merupakan perusahaan penjual minyak mentah KKKS memilih tidak menawarkan minyak ke Pertamina karena akan dikenakan pajak. Untuk yang berdomisili di dalam negeri akan dikenakan pajak 1,5%, sementara untuk trading arm yang berbasis di luar negeri dikenakan pajak 3%. Padahal, sebagian besar trading arm KKKS berbasis di luar negeri.

“Jika tidak ada aturan tersebut Pertamina bisa langsung menyerap crude oil  yang diproduksi KKKS dengan kapasitas besar hingga 200 ribu bph. Kurang lebih ada lima KKKS besar yang bisa, seperti Chevron, BP,  Total E&P Indonesie, ENI, Conoco Philip,” ungkap Daniel.

Dia menambahkan, Pertamina telah melayangkan rekomendasi kepada pemerintah untuk bisa mengkaji ulang aturan tersebut, yakni memberikan pengecualian pungutan PPh 22 atas pembelian semua minyak mentah dan kondensat yang dihasilkan di Indonesia melalui trading arms. Jika rekomendasi itu direalisasikan maka dampaknya selain pengurangan impor tentu akan memberikan pengaruh positif terhadap kondisi devisa negara.

“Impor turun bisa 50% crude, jadi beban devisa berkurang US$300 juta sebulan. Kan impor berkurang 200 ribu barel per hari,” kata Dia.

Saat ini Pertamina hanya bisa membeli minyak mentah dari KKKS yang beroperasi di Indonesia dalam jumlah sangat sedikit. Dari 200 ribu bph yang bisa diserap hanya sekitar 5%.

“Untuk sekarang kita hanya bisa serap 12 ribu bph dari 200 ribu bph itu belum dikenai pajak karena volumenya juga kecil dan kita beli dari KKKS langsung,” tandas Daniel.

Inas Nasrullah Zubir, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Hanura menilai aturan pengenaan pajak pada penjualan minyak mentah merupkan produk pemerintahan terdahulu. Pemberlakuan peraturan ini merupakan bentuk masih berpengaruhnya mafia migas dalam tata kelola migas di Indonesia.

“Saya duga ini adalah titipan mafia migas agar keran impor minyak mentah terus mengucur deras,” tandas Inas.(RI)