JAKARTA – Pemerintah mengakui tidak mudah untuk mengimpor gas,  termasuk mendatangkan gas dalam bentuk gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) dari Singapura untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik PT PLN (Persero).
Arcandra Tahar Wakil Menteri Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),  mengatakan harga yang ditawarkan masih terlalu tinggi karena Keppel Offshore & Marine mematok harga untuk transportasi dan regasifikasi sebesar US$ 3,8 – US$ 4 per MMBTU, belum termasuk harga gas.
Jika menggunakan asumsi harga gas saat ini 11% dari harga rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP)  saat ini sebesar US$ 55 per barel maka akan sulit harga gas impor dari Singapura bersaing dengan harga gas domestik.
“Kita asumsi misalnya US$ 5,7 per MMBTU tambah biaya tadi regasifikasi dan transport. Jadi silahkan hitung sendiri berapa jadi harga gasnya. Yang jelas US$ 3,8 sampai US$ 4 itu belum masukan harga komoditi,” kata Arcandra saat ditemui di Kementerian ESDM, Rabu malam (30/8).
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 45 Tahun 2017 (Permen ESDM 45/2017) tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Listrik, impor gas baru dibolehkan apabila tidak ada pasokan gas dari dalam negeri yang harganya di bawah 14,5% Indonesian Crude Price (ICP).
Kebijakan impor memang diboleh menurut beleid tersebut asalkan harganya bisa lebih murah dari gas pipa maupun LNG domestik. Jika masih ada gas lokal yang di bawah 14,5% ICP dan harga gas impor lebih dari 14,5% ICP sampai di pembangkit listrik maka impor tidak diizinkan.
Harry Poernomo, Anggota Komisi VII DPR,  menyatakan pemerintah harus berpikir matang sebelum benar-benar memberikan lampu hijau impor LNG dari Singapura. Apalagi rencana impor dilakukan langsung oleh perusahaan asing.
Menurut Harry,  jika harus impor pemerintah seharusnya bisa memanfaatkan PT Pertamina (Persero) karena perusahaan plat merah tersebut mempunyai pengalaman dan memiliki anak usaha yang khusus menjalankan bisnis trader gas.
“Pertamina punya trading gas dan bisa berperan tidak harus negara lain,” kata Harry.
Jugi Prajogio,  Anggota Komite Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas,  menyatakan rencana impor gas berhubungan dengan terus meningkatnya konsumsi gas nasional,  sementara produksi gas masih stagnan. Apalagi sumber-sumber gas yang beberapa tahun lalu diandalkan saat ini dan otomatis beberapa tahun kedepan terus mengalami decline atau penurunan produksi secara alami.
“Pada saat tertentu itu memang dibutuhkan karena itu tidak bisa ditahan karena gas dari waktu kewaktu naik konsumsinya tapi pasokan gas sudah mulai berat blok-blok sudah mulai decline,” kata Jugi.
Namun demikian kebijakan untuk impor tidak bisa dilakukan secara sembarangan karena banyak rantai proses yang harus dilalui,  baik oleh pemerintah maupun trader gas atau importir. Termasuk memastikan ketersediaan konsumen atau siapa yang akan menyerap gas serta ketersediaan infrastruktur distribusi.
Jugi mengatakan pemerintah harus melakukan pembahasan panjang sebelun benar-benar mengizinkan gas impor masuk ke Indonesia.
“Pemerintah akan buat evaluasi dulu kalau diperlukan impor LNG. Apalagi importir ini harus bisa buktikan ke pemerintah siapa pengguna gas lalu infrastukturnya ini rangkaian yang panjang,” tandas Jugi. (RI)