JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan impor gas tidak akan mudah dilakukan dalam waktu dekat. Banyak komponen yang harus dipertimbangkan dalam kebijakan impor, mulai dari sumber pasokan, harga keekonomian hingga kesiapan dalam penyerapan gas nantinya. Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, mengatakan fasilitas penyerapan gas yang tersedia saat ini masih sangat terbatas dan untuk menambah kapasitas pengolahan atau regasifikasi tentu akan memakan waktu lama.

“Logika saja. Kita bangun infrastruktur paling cepat dua-tiga tahun. Yang sudah ada kita punya berapa. Nusantrara Regas, Benoa, Lampung, yang lainnya butuh waktu,” kata Arcandra seusai menghadiri Indogas 2017 di Jakarta, Selasa (7/2).

Menurut dia, impor gas dalam upaya pemerintah menurunkan harga gas masih dalam proses pengkajian. Saat ini sedang dibahas syarat apa saja yang harus dipenuhi industri jika ingin mendapatkan gas murah dari impor. Namun pemerintah tetap akan mengutamakan penyerapan gas dari dalam negeri.

“Kita berusaha agar kita mendapatkan gas price yang kompetitif. Kita mengutamakan yang di dalam negeri. Kalau dari dalam tidak bisa memenuhi, kita buka impor,” kata Arcandra.

Arcandra mengatakan sebelum memutuskan melakukan impor ada beberapa evaluasi yang harus diperhatikan oleh pemerintah, seperti kontribusi industri terhadap gross domestic product (GDP).
Djohardi Anggakusumah, Senior Vice President Gas and Power PT Pertamina (Persero), mengungkapkan dari fasilitas yang ada saat ini, impor memang tidak memungkinkan langsung dilakukan. Namun itu akan berubah pada 2019 hingga 2030 saat pertumbuhan konsumsi gas terus meningkat. Data Pertamina menyebutkan potensi selisih antara demand dan supply gas mencapai 4.000 juta kaki kubik per hari (MMSCFD), maka penambahan fasilitas menjadi salah satu keharusan.
Pertamina sudah mempersiapkan penambahan beberapa fasilitas regasifikasi, seperti regasifikasi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa 1 yang saat rampung nanti mampu mengolah 200 MMSCFD. Rencana proyek Bojanegara tahap 1 diperkirakan 500 MMSCFD dan pada tahap 2 menjadi 1.000 MMSCFD. “Tapi kan tidak sekaligus, itu permintaan akan gas sendiri bertahap,” katanya.
Di tempat yang sama, Daniel S. Purba, Sekretaris Jenderal Indonesia Gas Society, menyatakan para pelaku industri gas masih berhati-hati dalam melakukan investasi infrastruktur. Pasalnya ada perbedaan karakteristik bisnis dalam industri gas jika dibandingkan dengan industri minyak.
Pada industri minyak lebih di gerakkan permintaan atau kebutuhan sehingga supply akan menyesuaikan dengan demand yang ada. “Untuk gas sebetulnya sedikit berbeda. Bisa supply driven, demand bisa tumbuh kalau supply-nya tersedia. Ini memang beda karakteristiknya antara industri pasar minyak dan gas dalam konteks natural gas,” kata dia.

Menurut Daniel, fasilitas yang dibangun bertahap sembari menunggu perkembangan industri yang terjadi, kesiapan industri, regulasi dan segala aspek untuk mendukung transportasi, kemudian apakah pasar tersebut sudah semakin established atau belum. “Jadi pembangunan infrastruktur tidak bisa langsung kita siapkan serta merta,” tandasnya.(RI)