JAKARTA – Rencana kebijakan pemerintah untuk melakukan impor guna menekan harga gas bagi industri dinilai bukan sebagai solusi jangka panjang. Langkah impor dianggap sebagai jalan pintas dan kurang tepat. Impor dinilai tetap akan menciptakan iklim trader dalam industri gas tanah air.

Achmad Widjaja Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Hulu dan Petrokimia, menyatakan sebelum memutuskan untuk melakukan impor, pemerintah harus berdiskusi dengan semua stakeholder, karena maksud untuk menurunkan harga gas tidak semudah seperti yang diwacanakan.

“Semua perlu di ajak pembahasan agar bisa mencapai tujuan bersama. Kalau tidak, kita akan terus menciptakan iklim trader ketimbang investor jangka panjang,” kata Achmad kepada Dunia Energi, Kamis (2/2).

Menurut dia, pemerintah masih punya pilihan atau opsi lain dalam upaya menurutnkan harga gas, misalnya kembali menggiatkan pembangunan fasilitas dan infrastruktur distribusi dan transmisi gas dari wilayah timur Indonesia yang dikenal sebaga sumber utama gas. Jika membutuhkan waktu lama, pemerintah bisa memberikan insentif untuk bisa mempercepat.

Opsi itu tidak salah untuk dilakukan karena selama ini pemerintah mengaku infrastruktur wilayah timur ke barat masih kurang.
“Kenapa tidak diberi insentif untuk menyediakan kapal LNG sedangkan fasilitas regasifikasi masih idle,” kata Achmad.
Opsi lainnya pemerintah bisa menerapkan kebijakan harga gas seperti bahan bakar minyak (BBM) satu harga karena selama ini yang menjadi masalah adalah pendistribusian gas. “LNG di Indonesia timur melimpah, yang harus dipikirkan bagaimana membawanya,” tukas dia.
Bahkan, Achmad mengkhawatirkan jika keran impor dibuka tidak tertutup kemungkinan akan timbul berbagai masalah baru, terutama adalah ancaman impor ilegal. “Impor bukan solusi. Impor justru menjadi celah bagi swasta ikut serta,” katanya.
Pemerintah sebelumnnya menyatakan akan membuka keran impor gas, yang dikhususkan bagi PT PLN (Persero) dan pengembang listrik swasta (IPP) untuk memenuhi kebutuhan gas pembangkit. Langkah itu ditempuh karena harga gas yang ada didalam negeri terlalu tinggi.
Selanjutnya pemerintah juga tengah mengkaji opsi untuk melakukan impor gas bagi industri karena penataan kelola gas dianggap memakan waktu lama.
Komaidi Notonegoro pengamat energi dari Reforminer Institute mengungkapkan opsi untuk impor gas memang bisa dilakukan, namun pemerintah harus memastikan harga yang didapatkan nanti memang dibawah harga gas di pasar domestik. Apalagi tetap harus diperhatikan bahwa dalam membawa gas dari luar negeri pasti membutuhkan biaya tambahan.
“Proyeksi saya tidak mudah dapat yang lebih murah. karena impor pasti bentuknya LNG. baiaya transportasi dan regasisikanya juga harus dikalkulasi,” kata Komaidi.
Jika bersikeras mau melakukan impor maka pemerintah harus bisa menemukan penjual gas yang sediakan gas dengan harga kompetitif.

IGN Wiratmaja Puja, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan saat ini pembahasan insentif masih dilakukan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, jadi rencana impor gas masih belum diputuskan secara final.
Kementerian ESDM a harus terlebih dulu berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk menyusun formulasi pembelian gas.

“Harus lebih murah, nanti kan turunannya kan ada. Nanti ada di Kementerian Perdagangan, rekomendasi dari ESDM. Sedang disusun,” tandas Wiratmaja.(RI)

—