JAKARTA – Iklim investasi yang kondusif guna menunjang program pembangunan dinilai menjadi hal yang patut dipertimbangkan banyak pihak.
Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Mantan Menko Perekonomian, mengatakan bahwa perubahan dalam lingkungan domestik serta lingkungan global, yang sejak dasawarsa lalu semakin cepat, perlu diperhitungkan secara cermat. Hal ini mendesak karena mulai 2021, dunia akan melihat masuknya generasi milenial dalam berbagai bidang kehidupan bernegara, di dalam posisi yang dominan.
“Di sinilah perhitungan bisnis akan mulai menghadapi tantangan dari perhitungan kepentingan nasional. Isu-isu yang dihadapi Freeport Indonesia dan pemerintah saat ini mulai membawa potensi-potensi ‘mismatch’ tersebut,” kata Dorodjatun dalam acara diskusi  The Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS) di Jakarta, Rabu (11/10).
Meskipun demikian, kata Dorodjatun, dalam situasi apapun seharusnya ada kepentingan bersama di antara kedua belah pihak.
Fadel Muhammad, Anggota Komisi VII DPR RI, menambahkan bahwa masalah utama yang menghambat investasi di Indonesia adalah ketiadaan ketentuan assume and discharge yang menciptakan ketidakstabilan dan ketidakpastian hukum (stabilization clause).
“Kebijakan fiskal berperan sebagai instrumen yang mampu memberikan kepastian hukum, mendukung iklim investasi, mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas, secara konsisten dan stabil melalui administrasi yang sederhana,” ujar Fadel.
Sementara itu, Rachman Wiriosudarmo, Analis Kebijakan Mineral, menekankan perlunya paradigma baru dalam melihat peran sumber daya mineral dalam pembangunan. Pemanfaatan sumber daya alam seharusnya digunakan untuk pembangunan sumber daya manusia (human development).
“Proyek pertambangan dapat menciptakan efek pengganda (multiplier effect) yang sangat besar baik di hulu (upstream), hilir (downstream), maupun side stream. Efek pengganda tersebut harus dikelola oleh pemerintah untuk kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah,” ungkap Rachman.
Riaty Raffiudin, Pengamat Politik, menyoroti seberapa jauh kebijakan-kebijakan pada masa reformasi telah meningkatkan potensi bangsa Indonesia dalam menghadapi korporasi-korporasi multi nasional atau transnasional.
“Apabila aspirasi dan partisipasi masyarakat termasuk lembaga non-pemerintah dan non-bisnis tidak dilibatkan, akan sulit untuk mendapatkan iklim bisnis kondusif yang mensejahterakan masyarakat,” tandas Riaty.(RA)