JAKARTA – Perbaikan iklim investasi di Indonesia, terutama di sektor minyak dan gas dinilai sangat mendesak dilakukan, salah satunya melalui pencabutan kebijakan yang bersifat disinsentif.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengungkapkan rencana kebijakan pemerintah di sektor migas dengan pemberian insentif kepada investor untuk meningkatkan gairah investasi patut diapresiasi. Sayang, rencana itu belum kunjung terealisasi. “Bagaimana mau memberikan insentif, sekarang disinsentif yang ada untuk dicabut saja susah sekali untuk diimplementasikan,” kata Komaidi di Jakarta, Sabtu (10/12).

Salah satu aturan yang bersifat disinsentif, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 79/2010 tentang cost recovery dan pajak hulu migas  sampai saat ini belum juga direvisi. Padahal aturan tersebut dianggap memberatkan kontraktor karena pada masa eksplorasi kontraktor sudah harus membayar pajak.

Menurut Komaidi, pemerintah diminta konsisten untuk menyelesaikan permasalahan klasik di industri migas. Hal itu dinilai penting dan bisa menjadi solusi sebelum mengkaji berbagai ide baru. “Ada baiknya selesaikan dulu saja permasalaham satu persatu. Misalnya selama ini penghambat investasi migas justru banyak terjadi di non teknis seperti, masalah lahan, kondisi sosial dengan masyarakat dan lingkungan serta regulasi dan perpajakan,” tambahnya.

Dengan adanya solusi dari berbagai permasalahan klasik yang kerap dihadapi, iklim investasi diyakini akan berangsur membaik. Jika memang masih tidak memberikan perubahan, baru bisa merealisasikan beberapa rencana yang sudah disiapkan.

“Saya kira kalau itu diselesaikan, skema PSC reguler yang ada saat ini juga masih relevan dijalankan. Iklim investasi memang harus jadi perhatian serius,” kata Komaidi.

Taslim Z. Yunus, Kepala Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas, menegaskan perbaikan regulasi yang sifatnya disinsentif bisa jadi stimulus positif dalam memperbaiki kondisi cadangan migas nasional. Kondisi yang ada sekarang adalah dengan sulitnya cadangan ditemukan justru beban kontraktor ditambah dengan regulasi serta syarat yang membebani dalam berinvestasi,

“Harusnya saat kondisi sekarang pemerintah mengalah. Nanti kalau harga minyak membaik dan ditemukan cadangan baru kita bisa jual mahal lagi,” kata dia.

Peningkatan cadangan migas memang jadi perhatian utama dalam beberapa tahun terakhir. Pasalnya, Indonesia saat ini hanya memiliki sedikit cadangam dan ini sangat berbahaya bagi kedaulatan dan ketahanan energi.

Menurut Taslim, secara teknis cadanhan migas Indonesia masih memiliki potensi besar untuk bisa digali. Data SKK Migas saat ini saja ada 74 cekungan potensial yang sama sekali belum dieksplorasi. Namun tidak adanya data menjadi tantangan lain untuk bisa mengkomersialkan cadangan tersebut. Pemerintah sampai saat ini belum bisa meningkatkan kualitas data seismik geologi. Butuh kebijakan baru untuk bisa  menyisihkan sebagian penerimaan negara dari migas dan dipergunakan untuk memperbaiki sistem data base migas Indonesia.

“Sehingga 74 cekungam yg saat ini sudah ada bisa ditingkatkan statusnya dan menjadi lebih menarik di mata investor,” tutup Taslim.(RI)