BBM Satu Harga, bukanlah program sembarangan, yang pertama kali sejak Indonesia merdeka akhirnya dicanangkan pemerintah yang berkuasa di negeri ini. Sejak diluncurkan program tersebut sepertinya memang sudah ditakdirkan memiliki berbagai tantangan serta kendala yang menghadang dalam setiap pelaksanaannya, terutama dari sisi pendistribusian. Itu juga yang menyebabkan program ini seolah menjadi mustahil.

Kondisi geografis wilayah Indonesia  menjadi kendala yang paling sering dijumpai di setiap titik penyaluran BBM satu harga yang terdiri dari BBM jenis Premium dan Solar. Jika mengikuti proses penyaluran maka alur distribusi yang kerap ditemui boleh dibilang seperti sedang menjelajahi dunia baru yang belum tersentuh. Bayangkan kita harus melalui berbagai akses transportasi dari darat, laut, udara, kembali ke laut baru transportasi darat untuk bisa mencapai satu titik penyaluran BBM satu harga.

Ada lima kategori moda transportasi Pertamina dalam penyaluran BBM satu harga. Pertama adalah penyaluran dari terminal menuju titik penyaluran atau lokasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) menggunakan moda transportasi darat. Kemudian ketegori kedua dari terminal menggunakan kapal tongkang (laut) lalu menggunakan truk barang (darat). Ketiga dengan menempuh jalur darat menggunakan mobil tangki, kapal tongkang dilanjutkan dengan truk barang untuk sampai ke SPBU. Tidak jarang dalam jalur ini harus menembus daerah hutan pedalaman melalui sungai yang biasanya hanya dilalui masyarakat pedalaman untuk beraktivitas.

Keempat, tingkat kesulitan semakin menjadi karena penyalurannya harus melalui moda darat, udara dan darat. Dari terminal BBM menggunakan truk barang lalu dipindahkan ke pesawat lalu dipindahkan lagi ke truk barang baru disalurkan ke titik SPBU.

Untuk transportasi kelima ini ada satu kendaraan khusus yang dipersiapkan oleh Pertamina, yakni pesawat Air Tractor yang bisa menjangkau daerah pegunungan pedalaman seperti di wilayah Papua. Alurnya dari terminal BBM, diangkut BBM menggunakan mobil tangki, lalu  menggunakan Air Tractor baru dipindahkan ke SPBU menggunakan truk barang.

Proses pemindahan BBM dari satu moda transportasi satu ke transportasi lainnya juga tidak bisa dibilang mudah.

Sebagai contoh penyaluran BBM di Sausapor, Kabupaten Tambrauw. Penyaluran dimulai dari terminal BBM disalurkan menggunakan truk barang dengan sebelumnya BBM dimasukan ke dalam drum. Lalu dilanjutkan melalui jalur darat  sejauh 140 km dengan kondisi jalan tanpa aspal dan masih berupa tanah liat lalu memerlukan waktu sehingga memerlukan waktu empat jam perjalanan dengan gambaran wilayah jalur membelah wilayah pegunungan.

Tantangan lainnya bisa dilihat untuk menyalurkan BBM di titik dekat perbatasan negara yakni SPBU Paloh, kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Untuk mencapai SPBU, BBM harus menempuh jarak setidaknya 280 km yang dikirim dari Terminal BBM di Pontianak. Pasokan BBM setelah diangkut menggunakan truk tangki untuk menuju moda transportasi lain yakni menggunakan kapal.

Untuk menuju kapal angkut, truk bukan tanpa tantangan tapi juga butuh kerja keras karena harus membelah hutan belantara dengan jalan tanpa aspal masih tanah.

Itu belum dengan perhitungan tambahan waktu apabila cuaca di jalur pengiriman BBM tidak kondusif yang pastinya akan menambah waktu. Seperti halnya jika ingin mengirimkan BBM

Tantangan tidak hanya berasal dari jalur distribusi berupa kondisi geografis akan tetapi juga berasal dari kondisi sosial masyarakat yang berada di sekitar wilayah titik yang akan dibangun SPBU BBM satu harga. Misalnya seperti perang antar suku.

Kendala lain juga muncul setelah SPBU BBM satu harga beroperasi bayang-bayang pengecer masih saja menghantui lantaran ketika sudah dijual pengecer, tidak ada lagi BBM satu harga yang sekarang dipatok Rp 6.550 per liter dan solar seharga Rp 5.150 per liter.

Zibali Hisbul Masih, Project Coordinator BBM Satu Harga Retail Fuel Marketing Pertamina,  menceritakan bahwa  di beberapa wilayah para pengecer bahkan sampai mematok harga lebih dari 100% dari harga sebenarnya mulai dari Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu per liter.

Di wilayah yang  menjadi sasaran para pengecer kondisinya masyarakat biasanya datang sudah antri sebelum pasokan BBM tiba. Ketika sudah datang langsung diserbu dan stok BBM pun langsung menipis.

“Sulit itu yang borong pengecer, stok di SPBU habis pengecer yang jualan dengan harga tinggi Rp 20 ribu -30 ribu. Kondisi kurang baik ambil kesempatan,” kata Zibali di Jakarta, belum lama ini.

Untuk mengatasi masalah yang satu ini Pertamina dipastikan tidak bisa mengatasinya seorang diri melainkan harus bersinergi dengan stakeholder lainnya, dalam hal ini adalah aparat keamanan maupun pihak pemerintah daerah setempat.

Menurut Zibali, keterlibatan pemerintah daerah serta aparat keamanan cukup vital. Dengan adanya koordinasi dari para pihak terkait maka praktek pengecer BBM yang merugikan masyarakat bisa ditekan.

Dia mencontohkan apa yang terjadi di Kabupaten Jayawijaya, Papua sudah ada sinergi pengawasan penyaluran BBM satu harga secara modern. Di Jayawijaya filterisasi pengguna BBM sudah menggunakan kartu pengendali. Dengan kartu itu maka setiap pembeli akan tercatat dan diketahui mana yang sudah membeli dan yang berhak untuk menggunakan BBM bersubsidi.

“Kami kerja sama dengan aparat untuk bantu penyaluran. Cukup baik di Jayawijaya pemerintah daerah mencatat no polisi kendaraan, orang hanya hanya beli kalau bawa kartu itu. Tidak boleh pengecer-pengecer terutama dengan lokasi yang dekar SPBU,” ungkapnya.

Zibali mengatakan kebijakan penerbitan kartu pengendali di Jayawijaya atas inisiatif Pertamina dan pemda yang melihat akan adanya potensi kendala dalam pemberlakuan BBM satu harga.

Dalam mekanismenya pemda atau melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) mendata atau mencatat nomor polisi kendaraan di Jayawijaya. Setelah itu pemda mengeluarkan kartu untuk kendaraan-kendaraan yang sudah tercatat sebagai identitas konsumen yang boleh membeli BBM bersubdisi.

Lalu konsumen yang membeli harus menunjukkan kartu dan akan dicatat setiap melakukan pembelian. Volume dan frekuensinya  diatur agar sesuai kebutuhan dan tidak terjadi penyimpangan.

Menurut Zibali, mekanisme seperti inilah yang saat ini sedang didorong untuk diadopsi di wilayah lain terutama yang sering terjadi praktek pengecer yang merugikan masyarakat.

“Sudah coba dikembangkan di daerah lain, terakhir kita dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia undang Disperindag Wamena (Jayawijaya) untuk bicara di depan penda-pemda terkait,” ungkap Zibali.

Pengecer sendiri tidak benar-benar dilarang  dan sebenarnya masih diberikan kesempatan namun itu pun ada syaratnya yakni berlokasi minimal 10 km – 15 km dari wilayah SPBU, selain itu harganya juga tidak boleh lebih dari Rp 8 ribu.

Penanganan berbagai kendala dalam program BBM satu harga seyogyanya memang tidak diebebankan ke satu pihak. Lantaran proses distribusi yang panjang juga memerlukan kerja sama berbagai instrumen, baik di pemerintah maupun masyarakat.

Implementasi

Pertamina mendapat jatah untuk membangun sebanyak 150 lembaga penyalur di 112 kabupaten dan kota. Hingga akhir Oktober 2018, Pertamina telah mengimplementasikan BBM Satu Harga di 58 lokasi dari target 67 lokasi pada 2018. Pertamina sendiri mencanangkan akan merampungkan seluruh target pada November mendatang.

Pada tahun lalu sudah dibangun sebanyak 54 lembaga penyalur dan tahun depan ditargetkan akan dibangun lembaga penyalur sebanyak 29 di wilayah yang belum memiliki infrastruktur transportasi memadai baik laut maupun darat.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat migas dari Universitas Trisakti mengatakan program ini memang pada dasarnya bagus, hanya mungkin perlu disampaikan secara lebih utuh ke masyarakat. Pasalnya, program ini kan dalam pelaksanannya di lapangan dilakukan dengan cara menambah jumlah titik penyerahan atau pendistribusian BBM di beberapa wilayah di Indonesia yang secara harga masih dapat dikendalikan Pertamina, baik melalui Pertamina sendiri maupun  melalui kerja sama dengan pihak lain.

Menurut Pri, harus diakui belum seluruh tempat sudah terjangkau sistem pendistribusian dan kendali harganya dengan cara yang sama dengan program BBM satu harga. Bahwa jumlah titik yang dijangkau bertambah kata dia, memang benar, tapi tidak menjamin bahwa penambahan itu sudah bisa menjangkau semua titik yang diperlukan.

“Sehingga, belum ada jaminan juga bahwa masih tetap akan ada pengecer-pengecer yang kemudian menjual dengan harga yang tidak dibawah kendali Pertamina atau pemerintah lagi,” ujar Pri.

Menurut dia, dengan adanya sinergi dengan stakeholder seperti  pemerintah  daerah  maka pelaksanaan program pasti akan lebih baik.

“Semakin melibatkan pemda akan semakin bagus, yang lebih mengetahui daerah kan pemda. akan lebih baik dengan melibatkan pemda. biar jangkauan juga bisa lebih luas,” tandas Pri Agung.(RI)